JAKARTA. Fajar Suhendra, taipan asal Sumatra pemilik Growth Steel Group sedang menghadapi masalah pelik dalam salah satu bisnisnya di Banten. Perusahaan itu adalah PT Indoferro Iron and Steel yang didirikan 2008. Perusahaan ini berhenti operasi sejak 20 Juli 2017 lalu.
Indoferro adalah perusahaa pemurnian (smelter) nikel pig iron. Penghentian operasi smelter nikel pig iron itu akibat kebijakan relaksasi ekspor melalui dua aturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada awal Januari lalu. Buntut kebijakan tersebut, Indoferro tengah dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan 1.000 karyawannya.
Aturan relaksasi ekspor mineral yang menyebabkan Indoferro berhenti operasi adalah, pertama, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Kedua adalah Peraturan Menteri ESDM No.6/Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handojo mengungkapkan, surat dari PT Indoferro menyebutkan, sejak 20 Juli 2017 perusahaan itu sudah tidak lagi beroperasi.
Perusahaan ini meminta karyawan mengambil hak mereka sesuai aturan berlaku. "Indoferro sudah PHK sekitar 1.000 orang, saya minta dua aturan itu dicabut," ungkap Jonathan, yang juga Business Development Growth Steel Group ke KONTAN, Minggu malam (23/7).
Jonathan mengungkapkan, lantaran sudah berhenti beroperasi, pemegang saham PT Indoferro akan menjual aset-aset tersebut. "Akan diatur oleh bank agar dicarikan investor pengganti untuk meneruskan," ungkap dia.
Dia menyatakan, saat ini Growth Steel Group sudah menyerahkan seluruh aset kepada bank. Jonathan belum mau membeberkan siapa bank yang akan menjual asetnya itu dan berapa nilai aset PT Indoferro itu. "Bank meminta namanya disimpan karena masih dalam pengurusan. Harap maklum lah. Nilai aset nanti, kalau bank sudah selesai urusannya," ujarnya.
Jonathan mengatakan, Growth Steel Group juga akan menyerahkan aset pabrik kokas dan juga semen yang lokasinya memang berada di lokasi smelter nikel pig iron Indoferro. Saat ini Indoferro memiliki smelter nikel pig iron dengan kapasitas 500.000 ton per tahun.
Di kawasan nikel pig iron Indoferro, Growth Steel Group mendirikan PT Indocoke Industri untuk produksi hard coking coal alias kokas berkapasitas 600.000 ton per tahun. Juga PT Semen Indoferro untuk mengoperasikan pabrik semen berkapasitas 30.000 ton per bulan. "Semua diserahkan ke bank. Bank tak mau kalau ada yang ditahan. Itu termasuk karyawan," ungkap dia.
Meski sudah berniat menjual aset, Jonathan mengatakan, penjualan Indoferro masih menunggu direksi bank tersebut kembali ke Indonesia. "Nanti kalau mereka sudah pulang, baru penawaran penjualan ke investor lain, maklum tutupnya baru terjadi pada tanggal 20 Juli lalu," ungkap Jonathan.
Berawal dari Sumatra
Indoferro adalah salah satu lini bisnis Fajar Suhendra. Fajar adalah pemilik Growth Steel Group yang berdiri di 1970. Namun, perusahaan pertama Fajar adalah PT Growth Sumatra Industry, pabrik baja terpadu yang memproduksi produk baja panjang dari bahan baku logam bekas.
Growth Sumatra memasok produk baja untuk konstruksi, pertambangan di seluruh Timur Tengah, Asia Tenggara, Australia, Afrika, Amerika Selatan. Growth Sumatra juga menghasilkan billets, bar penguat, weld mesh, palang sudut dan baja ringan.
Growth Sumatra adalah salah satu peleburan terbesar di Asia Tenggara. Grup ini terutama menghasilkan pengecoran baja untuk industri pertambangan, gulungan baja dan gulungan besi untuk industri baja, karet, sekrup mur panjang untuk industri kelapa sawit.
Selain itu, Fajar juga memiliki produsen pipa besi PT Growth Pamindo, PT Growth Asia, dan PT Growth Pakanindo, pabrik pakan yang memasok pasar Sumatra. Terakhir Fajar juga memiliki PT Indoferro, PT Indocoke Industri yang memproduksi hard coking coal dan PT Semen Indoferro untuk mengoperasikan pabrik semen.