Habiskan Rp 55 Triliun untuk Rebut Saham Freeport | PT Rifan Financindo
PT Rifan Financindo - Setelah melewati proses negosiasi panjang, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah sepakat mendivestasikan 51% saham ke pemerintah Indonesia. Sebagai kepanjangan tangan pemerintah, PT Inalum (Persero) nantinya akan menjadi pemegang saham mayoritas di PTFI.
Inalum juga punya strategi dan rencana bisnis ke depan untuk Freeport. Bagaimana ceritanya, berikut wawancara selengkapnya detikFinance dengan Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin.
Bisa diceritakan sedikit soal pembelian saham Freeport mulai dari negosiasi yang panjang, sampai terakhir tanda tangan seperti apa? Saya mulai terlibat sebenarnya waktu mejadi Dirut Mandiri tahun 2015, itu memang diminta oleh Ibu Menteri (BUMN Rini Soemarno) atas arahan dari Bapak Presiden (Jokowi) untuk bisa mengkaji proses divestasi untuk ini sendiri dimulai mengkaji memakai konsultan melihat alternatifnya seperti apa kemudian saya akan pensiun dari Dirut Mandiri di 2016 kemudian diminta juga oleh Ibu Rini tetap melanjutkan tugas ini sebagai staf khusus ibu menteri.
Jadi saya melanjutkannya terus jadi staf khusus, kemudian kita membentuk holding industri pertambangan salah satu tujuannya juga supaya kita memiliki balancing yang cukup untuk melakukan transaksi ini terjadinya di November 2017. Kemudian saya jadi Dirut Inalum. Nah jadi Dirut, kemudian prosesnya berjalan sampai sekarang Sehingga akhirnya kemarin kita menandatangani Head of Agreement dengan PT Freeport.
Itu kan nilainya banyak yang bilang fantastis US$ 38,5 miliar atau sekitar Rp 54 triliun. Itu ada yang bilang kemahalan, bagaimana menurut Anda? Memang kita bisa mulai dari cara perhitungan yang paling susah, paling rumit, sampai perhitungan yang paling sederhana.
Kalau dari paling rumit sudah ada standarnya cara valuasi perusahaan seperti itu, jadi berapa earning after tax-nya sampai akhir dihitung sehingga keluar angkanya berapa. Angka itu sebenarnya yang kita dapatkan adalah sekitar 18% dari perhitungan secara scientifik. Tapi karena ini sulit, saya lebih suka memakai angka yang lebih gampang.
Misalnya kita beli US$ 3,85 miliar itu untuk 45%. Jadi 100%-nya itu sekitar US$ 8,25 miliar. Untuk informasi, ebitda-nya freeport dalam kondisi sustain, kan sempat ada naik turun ya, tapi rata-ratanya, kisarannya itu US$ 4 miliar. Profit after tax-nya atau earning after tax-nya dia, kondisi normal, itu kan juga ada naik turun karena pada tahun 2022 itu akan habis, itu sekitar US$ 2 miliar.
Jadi kalau enterprise value, atau harga perusahaan US$ 8 miliar, maka enterprise value per ebitda itu sekitar 2 kali, karena ebitda-nya kan US$ 4 miliar. Ini enterprise value-nya US$ 8 miliar. Kalau dibandingkan earnings, enterprise value dibagi earnings itu 4 kali.
Nah di kalangan keuangan, kita sering melihat price to earning ratio ini sebagai suatu standar yang bisa dibandingkan. Nah kalau kita mau pakai rata-rata perusahaan terbuka di Indonesia kan kita lihat di Jakarta Stock Exchange, memang saya agak ketinggalan, karena saya sudah keluar dari perbankan agak lama.
Dulu sih sekitar 16-17 kali rata-rata price to earning rationya. Sekarang kan mungkin karena udah turun, mungkin di sekitar 12-14 kali. Tapi kita untuk perbandingan belinya itu di angka 4 kali. Nah 4 dibandingkan dengan 12-14, jadi itu jauh kan di bawah rata-rata valuasi harga di Bursa Efek Jakarta.
Yang kedua yang lebih gampang teman-teman juga sudah bikin resource atau cadangan terbukti freeport yang ada sekarang di Papua itu US$ 150 miliar. Jadi kalau kita beli US$ 3,85 miliar, ya bisa dibandingkan dengan angka itu tadi.
Atau cara perbandingan ketiga yang juga gampang, Freeport itu pernah menawarkan ke pemerintah Indonesia waktu itu diminta divestasi waktu itu 30%, 10%-nya US$ 1,6 miliar. Jadi kalau 10% US$ 1,6 miliar, kita beli 45%, itu kan jadi sekitar 4,5 dikali 1,6 jadi sekitar US$ 8 miliar, dibandingkan dengan US$ 3,85 miliar. Padahal harga yang ditawarkan itu hanya Freeport tanpa memperhitungkan porsi Rio Tinto. Kalau memperhitungkan porsi Rio Tinto itu kan harga yang US$ 8,5 berapa ini mesti dibagi 0,6 lagi jadi akhirnya US$ 12 miliar.
Jadi dengan itu, kita perbandingan price to earning ratio-nya 4 dibandingkan dengan 12. Yang kedua, kita beli US$ 3,85 miliar, nilai potensi cadangannya US$ 150 miliar. Kemudian yang ketiga, Freeport saja sudah pernah menawarkan equivalen sekitar US$ 12 miliar, kita dapat US$ 3,85 miliar.
Atau kalau yang lebih gampang lagi, profitnya itu setiap tahun kan US$ 2 miliar. Jadi kalau saya pegang 51% kan saya dapatnya US% 1 miliar lebih, jadi kalau ini US$ 3,85 miliar (harganya), ya 4 tahun balik modal.
Ada juga pertanyaan Rio Tinto, jadi kenapa tiba-tiba ada Rio Tinto di Freeport, bisa dijelaskan? Lalu kenapa harus beli Rio Tinto, nggak langsung ambil Freeport? Jadi sejarahnya Freeport itu dia ada tambang yang pertama kali namanya Erstberg, itu ditemuin di tahun 1960-an. Jadi dari sini, Freeport bikin kontrak karya yang pertama, itu dari 1967 sampai 1997.
Di tahun 80-an dia nemu tambang lagi yang lebih besar, yang namanya Itu Grasberg, yang sekarang, ini jauh lebih besar dari Erstberg. Karena nemu ini, sebelum ini habis, karena tahun 80-an nemunya, dia minta ke pemerintah Indonesia untuk tanda tangan kontrak karya yang kedua, itu dari tahun 1991 sampai 2021. Grasberg ini kan besar sekali, karena besar, dia nggak punya uang untuk bangun.
Jadi dia nggak ada uang untuk bangun, corebody-nya itu mulai dari atas sampai ke bawah. Dia mau ambil yang atas, karena dia nggak punya uang untuk bangun, maka tahun 1985 dia tanda tangan yang namanya implementation agreement dengan Rio Tinto. Yang intinya dia ijon, Rio Tinto dapat bagian dari sini, tapi bantu juga bagian dari Capex (Capital Expenditure)-nya.
Jadi dikasih ke Rio Tinto 40%, kalau produksinya di atas produksi tertentu, tapi Capex-nya bagi-bagi juga 40%. Dan ini tahun 1996, ini diubah jadi Participation Agreement. Ini sudah disetujui sama pemerintah Indonesia. Intinya dia bagi 40% itu Rio Tinto, lalu 60% Freeport. Cuma, kalau sebelum 2022 di bawah metal strip (tanpa memperhitungan kondisi produksi berada di atas level yang disepakati) itu 1% buat Freeport. Baru di atas metal strip, bagi dua. Tapi di atas 2022, 40:60 rata.
Logikanya, Freeport bilang, waktu ketemu (tambang) sebelum 1996, ini jatahnya Freeport. Begitu ketemu sama Rio Tinto, ini yang dibagi. Cuma kan ini satu hole body produksinya. Jadi totalnya ini dibagi sejak 1996 sampai 2041 kalau nggak salah. Kalau di bawah metal strip produksinya, itungannya punya Freeport. Tapi kalau itungannya di atas, ini bagi-bagi 60:40.
Akibatnya apa? Akibatnya kalau sekarang kita lihat dari sisi saham equiti interest yang kelihatan di publik, ini kam freeport punya 90,64%. Pemerintah Indonesia atau Inalum punya 9,36%. Rio tinto punya 0%, nggak ada. Tapi kalau dari sisi economic interest, ini (Rio Tinto) punya 40%. Jadi ini (Freeport) cuma 60%. Jadi ini yang orang sering salah.
Kalau orang bilang, belinya beli Freeport, 51%, ngapain beli Rio Tinto, yang didapat itu cuma 51% dari ini (gambar), cuma 30% sebenarnya yang kita punya. Karena yang ini (gambar) ada di haknya Rio Tinto, cuma yang kelihatan ke dokumen publik yang ini (gambar). Itu sebabnya kenapa kita harus beli yang Rio Tinto punya. Karena kalau nggak, tujuan kita kan maunya Pemerintah Indonesia 51%, ini (Freeport) 49% kan, ini (Rio Tinto) harus masuk, kalau nggak, nggak bakal dapat 51%. Pendanaan sudah siap? Lumayan alhamdulillah.
Bank lokal atau asing? Banknya ada 11, belum bisa dibicarakan, tapi memang ada bank lokal dan bank pemerintah. Mereka masuk karena asetnya bagus, tawarinnya lebih seperti oversubscribe, di atas 5 lah yang sudah masuk. Kita juga diimbau dari otoritas, kalau bisa justru jangan dari dalam negeri supaya nggak memberi tekanan ke neraca pembayaran.
Kalau dolar masuk kan bagus, rupiah akan menguat. Tapi kalau dolar keluar, kan rupiah akan memburuk. Karena ini bayarnya di luar, kalau bisa dolarnya jangan dari dalam. Kalau bisa dolarnya dari luar juga, jadi nggak memberatkan neraca pembayaram ini. Jadi nggak ada aliran dolar dari dalam negeri ke luar negeri. Karena nanti begitu keluar, outflow, dia akan tekan kurs. Jadi kursnya nanti akan ada tekanan.
Kemarin sudah tanda tangan, tapi ada yang bilang ini cuma pencitraan karena prosesnya belum selesai. Sebenarnya bagaimana prosesnya? Tanda tangan yang kemarin kan Head of Agreement, di dalamnya itu ada dua kesepakatan. Kesepakatan mengenai struktur transaksi dan kesepakatan mengenai nilai transaksi.
Apakah sesudah kesepakatan ini sudah selesai atau belum, ya itu musti dijabarkan menjad kesepakatan yang lebih detil lagi. Kan begitu sudah sepakat, strukturnya begini, saya bisa cerita transaksinya rumit sekali, ada tiga pihak, ada Rio Tinto, ada Freeport, ada Indonesia. Secara legal, satu pihak itu bisa punya 1-2 entitas. Kaya Freeport, Freeport itu ada 3 entitasnya. Kita musti deal dengan Freeport McMoran, kita musti deal dengan IndoCooper Investama, kita musti deal dengan PT Freeport Indonesia. Jadi Freeport saja ada 3 entitas. Jadi secara legal, kita harus bikin agreement dengan mereka.
Rio Tinto juga begitu, ada Rio Tinto Indonesia, ada Rio Tinto yang di London, dan mereka juga ada satu Rio Tinto SPV yang memiliki PT Rio Tinto Indonesia. Jadi entitasnya juga banyak. Kita musti deal dan agreement dengan seluruh entitas ini. Itu detilnya masih ada lagi. Jadi masih ada lagi sale purchase agreement dengan ini, dengan lainnya, nanti kita juga mesti rights issue, sharenya musti di-subscribe, itu juga mesti ada.
Jadi dari kesepakatan awal kita bisa masuk ke kesepakatan detil. Tapi kesepakatan awal ini penting ini menjadi acuan, ini menjadi sesuatu yang tidak boleh goyah lagi.
Kebayang kan kalau sudah bicara mengenai perjanjian detil rinci tiba-tiba ini berubah. susah. Jadi ini mesti disepakati dulu di lock. nah apakah udah selesai belum. Karena masih ada yang detil tapi apakah ini sudah mengikat? ini mengikat. Jadi artinya apa yang kita bikin harus mengacu ke sini gabisa bikin lain berubah itu penting.
Lalu otomatis udah harganya, jadi harga itu audah tau dengan struktur begini. Ini sebenanrya sudah kemajuan, memang belum 100% selesai. Saya tambahkan satu lagi, ini kan baru kesepakatan divestasi, padahal transaksi Freeport berdasarkan final agreement Agustus atau September 2017 yang di tanda tangani Indonesia- Freeport itu harus selesai kalau sekaligus empat kesepakatan dicapai. Nggak hanya divestasi.
Kan ada kesepakatan mengenai perubahan KK menjadi IUPK. Ada kesepakatan pembangunan smelter, lalu penerimaan negara nggak boleh lebih kecil, ini nanti menghasilkan stabilitas investasi dan perpanjangan yang sampai 2041. Kita selesai pun divestasi ini tanpa yang 3 ini selesai ya nggak bisa. Jadi memang banyak sekali.
Jadi tahapan selanjutnya menyelesaikan empat itu ya? Tahapan selanjutnya kita harus selesaikan dengan detil perjanjian yang diperlukan untuk divestasi tapi juga soal Freeport Indonesia dengan kesepakatan.
Jadi sudah mengikat, bisa batal? Batal bisa kalau tiba-tiba tidak setuju mengenai terms and conditions mengenai stabilitas investasi itu bisa juga. Tapi harusnya kalau sudah sampai intensinya begini, sama kayak orang sudah tunangan bisa nggak jadi nikah bisa juga, tapi kan orang tua, ya ramai lah begitu kan sama keluarga.
Kenapa harus sekarang, ada pertanyaan 2021 kan sudah kelar, nanti saja ambilnya, kenapa harus sekarang? Ini bukan tupoksinya saya tapi saya mengikuti saya melihat dan saya memahami kenapa bisa keluar isu seperti itu, karena perjanjian di kontrak karya itu di pasal 30 poin 2 kalau nggak salah, bicara khusus soal terminasi, itu tidak telak ditulis bahwa selesai.
Kalau saya baca. Dan mungkin ada dokumen lain seperti itu jadi akibatnya kan ada room untuk multi interpretasi, kalau pemerintah interpretasi begini, Freeport interpretasi begini, bukan ini lebih kuat lebih kuat, tapi apa 100% begini ya belum juga. begitu. Sekarang kalau misalnya perbedaan kemudan dipush untuk meliput takutnya malah kalau ini terjadi masuk ke arbitrase, kalau Freeport dipotong 2021 mereka sudah bilang akan protes.
Kalau mereka arbitrase maka tambangnya pasti berhenti, ini kan tidak boleh berhenti takutnya rusak butuh billion of US dolar lagi untuk benerin. Income pajak nggak ada nanti ada isu lagi di sana. Kalau ke arbitrase 100% kepastian pemerintah Indonesia menang nggak ada yang bisa jamin, mungkin bisa menang, tapi nggak ada yang bisa jamin juga. Nah kalau saya amati arahnya lebih ke pemerintah indo liat ambil jalur win-win. Kalau arbitrase ini berhenti (tambangnya berhenti). Ini bukan wewenang, saya memahami.
Kita sudah beli mahal, tapi masih juga harus investasi juga, untuk modal bawah tanah dan lainnya, itu bagaimana tanggapannya? Freeport sendiri punya ebitda seperti yang saya sampaikan tadi kan rata-rata per tahun US$ 4 miliar, jadi kalau 2021 sampe 2041 ya mungkin ada naik turunnya. Lets say US$ 3 miliar. US$ 3 miliar kali 20 tahun, itu kan US$ 60 miliar. Dia butuhnya hanya 20, jadi nggak usah ada tambahan injeksi modal itu sebenarnya.
Jadi untuk pembangunan, untuk tambang, bisa dipenuhi dengan cashflow, kan kelihatan dan kita bicara Freeport Indonesia dikonversi. Bisnis plan mereka bahwa investasi infrastruktur tambang bawah tanah dibiayai dari internal cash flow cukup besar.
jadi selain pajak dividen dan lainnya, pemerintah juga akan dapat apa dari freeport? Sebenarnya kita dapatnya sebagai pemegang saham dividen ya, tapi pemerintah dapat tax royalti sama pajaknya. Ya mungkin bisa lebih besar dari dividen, jadi total Indonesia lebih besar. Yang saya lihat juga adalah teknologi skill, kalau dapat ahli-ahli tambang muda yang bisa menjalankan tambang bawah tanah tercompleks di dunia itu juga bagus buat kita sebagai bangsa.
Apa keuntungan yang dirasakan bagi Inalum? Otomatis salah satu ambisi kita untuk jadi fortune. Dengan ebitda sebesar US$ 4 miliar akan membantu total ebitda grup kita supaya jadi besar. Tahun lalu sekitar US$ 700- 800 juta, tahun ini bisa US$ 1,3-1,5 miliar, kalau ditambah ini kan mungkin dapat akses kedua US$ 3,5 miliar mendekati. Kita butuh ebitda sekitar US$ 6-7 miliar untuk bs masuk ke fortune.
Selain freeport ada tambang lain? Yaa mudah-mudahan nanti ada investasi tambang besar lain.
Dengar-dengar dulu divestasi pemerintah juga harapkan sebagian IPO biar bisa dibeli. Pandangan Inalum setelah jadi mayoritas masih perlu IPO? Yang pertama memang Pemda akan masuk ya, jadi kita akan bentuk SPV Joint Venture Company dengan Pemda, supaya Pemda bisa memiliki 10% dari PTFI. Nah Pemda-nya 6% milik Pemkab, 4% Pemprov. Jadi di situ sudah pasti rakyat Papua, masyarakat Papua bisa memiliki Freeport Indonesia.
Nah sekarang memang ada rencana IPO supaya governance nya lebih bagus, bisa dimiliki lebih luas lagi, rencana itu sudah ada. Tapi memang timingnya kita mau selesaikan sampai semua urusan smelter nya sudah jadi, sudah selesai baru nanti dia IPO. Dan itu juga harus dilakukan dengan timing yang tepat.
Jadi kira-kira keseluruhan proses divestasi akan memakan waktu berapa lama? Pak Jokowi sudah bilang ini mulaimya sejak 3,5 tahun yang lalu, jadi mudah-mudahan ke depannya nggak 3,5 tahun lagi. Bisa lebih cepat