a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Harga Naik, Vale Anggap Larangan Ekspor Nikel Untungkan RI

Jakarta, CNN Indonesia -- PT Vale Indonesia Tbk menilai larangan ekspor bijih nikel kadar rendah (ore nikel) justru menguntungkan Indonesia. Pasalnya, Indonesia berkontribusi besar pada pasokan pasar nikel dunia yakni 27 persen.

Direktur Utama Vale Indonesia Nico Kanter menjelaskan besarnya kontribusi tersebut membuat larangan ekspor bijih nikel kadar rendah mempengaruhi pasokan dunia. Harga nikel pun berpotensi terkerek naik.

Mengutip Reuters, harga patokan nikel di bursa London Metal Exchange (LME) naik 1,6 persen menjadi US$15.910 per ton pada Selasa (27/8). Harga nikel berhasil melampaui harga timah yang tercatat sebesarUS$15.765 per ton untuk pertama kalinya sejak Septermber 2010.


"Bagi Vale itu dampaknya positif karena kemudian pasar mengartikan pasokan di dunia berkurang, sedangkan permintaan tetap atau naik, sehingga otomatis harga akan naik dan itu yang akan terjadi," katanya, Selasa (27/8).

Lihat juga: Perpres Mobil Listrik Diteken, Saham Produsen Nikel Diincar
Tak hanya positif bagi perseroan, lanjutnya, kenaikan harga nikel juga memberikan keuntungan bagi Indonesia. Imbas positif lain, ia menuturkan sejak muncul rencana larangan ekspor bijih nikel kadar rendah pada 2014, sejumlah pihak membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).

"Artinya apa yang direncanakan pemerintah untuk nilai tambah itu terjadi," katanya.

Selain itu, larangan ekspor bijih nikel kadar rendah juga mendorong rencana pemerintah mengembangkan kendaraan listrik. Sebab, bahan baku baterai mobil listrik adalah nikel dengan kadar 1,4 persen ke bawah yang notabene saat ini masih diekspor.

"Tanpa diketahui kita semua, yang diekspor adalah bahan baku terbaik untuk jadi baterai, terbayang tidak kita sedang mencanangkan kebijakan percepatan mobil listrik, justru bahan utama baterai itu diekspor oleh Indonesia," katanya.

Namun demikian, bukan berarti ia mendukung percepatan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah dengan mengabaikan perusahaan yang telah mengantongi kontrak pembelian jangka panjang. Ia meminta pemerintah lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan utama terkait kuota ekspor.

"Tetapi perlu dilihat apakah itu kontrak jangka panjang atau spot, hanya untuk mendapatkan pemasukan sementara, itu yang perlu dilihat," ujarnya.

Gandeng China Bangun Smelter

Perseroan dengan kode saham INCO itu mengaku akan menggandeng perusahaan asal China untuk membentuk perusahaan patungan (joint venture). Perusahaan JV itu nantinya akan membangun fasilitas smelter feronikel di Bahadopi, Sulawesi Tengah.

Namun, perseroan belum mau mengungkapkan porsi kepemilikan saham pada perusahaan JV itu lantaran masih dalam tahap negosiasi.

"Saat ini sudah kerucut satu partner dan tahap final negosiasi komersial, harapannya segera rampung. Memang negosiasi komersial ini lebih panjang dari yang diekspektasi," kata Direktur Vale Indonesia Febriani Eddy.

Ia menuturkan kapasitas produksi smelter Bahadopi ini mencapai 70 ribu ton. Sedangkan nilai investasinya berkisar US$1,6 miliar-US$1,8 miliar. Untuk pembangunan smelter ini perusahaan akan berkongsi dengan perusahaan China tersebut.
Selain mempersiapkan smelter, perseroan juga menyediakan investasi dari sisi tambang senilai US$300 juta. Rencananya, pengelolaan tambang akan dilakukan sepenuhnya oleh Vale Indonesia.

Selain pembangunan smelter Bahadopi, perseroan juga tengah mempersiapkan pembangunan smelter di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Dalam hal ini, perusahaan bekerja sama dengan perusahaan pertambangan asal Jepang Sumitomo. Rencananya, Sumitomo akan memiliki porsi mayoritas di Blok Pomalaa sebesar 51 persen.

Febriani mengungkapkan total investasi pembangunan smelter mencapai US$2,5 miliar. Sedangkan untuk investasi tambang di Blok Pomalaa mencapai US$300 juta.


"Sekarang yang menjadi tantangan terbesar di Pomalaa adalah perizinan. Kami sedang proses Amdal dan harapannya segera dapat (izin Amdal) lalu proses izin lainnya," ujarnya.

Direktur Vale Indonesia Bernandus Irmanto menambahkan smelter Pomalaa inilah yang akan memproduksi bahan baku baterai mobil listrik. Ia memprediksi pembangunan pabrik smelter bakal memakan waktu 4-5 tahun. Pembangunannya sendiri diprediksi belum bisa dimulai tahun ini karena proses perizinan cukup panjang.

"Tidak akan selesai (perizinan tahun ini). Mungkin tahun depan atau 2021, karena perizinan panjang," tuturnya. (ulf/lav)