a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Harga Nikel Anjlok 12%

Harga Nikel Anjlok 12%
Pada perdagangan di London Metal Exchange (LME) Mei 2017, nikel diperdagangkan di level US$ 8.810 per ton. Berdasarkan kalkulasi Reuters, harga nikel telah melorot 12% sepanjang tahun ini, terbesar di antara logam dasar lainnya. Padahal, harga nikel sempat reli sejak Februari 2016 dan menyentuh level tertinggi sebesar US$ 12.000 per ton, seiring turunnya pasokan bijih nikel dari Filipina.

Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo menjelaskan, pengusaha nikel baru bisa meraup untung jika harga mencapai US$ 12.000 per ton. Harga itu sempat dicapai tahun lalu. Namun, begitu kabar Indonesia bakal merelaksasi ekspor bijih nikel berembus, harga nikel terus merosot ke US$ 11.000 per ton, kemudian tergelincir lagi menjadi US$ 9.000 per ton. Terakhir, harga bertengger di level US$ 8 ribuan per ton.

Dia menambahkan, penurunan harga nikel bertolak belakang dengan biaya produksi yang justru naik. Pemain nikel yang menggunakan teknologi tanur listrik (arc furnace) harus berhadapan dengan kenaikan harga batubara, yang digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Pemain nikel yang menggunakan tanur tinggi (blast furnace/BF) juga tertekan oleh lonjakan harga kokas yang kini mencapai US$ 300 per ton. Tak ayal lagi, kerugian yang ditanggung pemain nikel membengkak.

Atas dasar itu, dia mengatakan, relaksasi ekspor nikel adalah kebijakan ‘ngawur’ dan membuat investor mempertanyakan konsistensi pemerintah. Sebab, dengan harga nikel seperti saat ini, mustahil produsen mendapatkan untung. Sebaliknya, pengusaha smelter malah rugi.

Jonatan mencatat, setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel, industri nikel Tiongkok berbondong-bondong merelokasi pabrik ke Indonesia. Larangan ekspor itu sejalan dengan UU 4 /2009 tentang Pertambangan Minerba.

http://id.beritasatu.com/