Harga Nikel Melemah Sementara Seiring Tambahan Suplai Indonesia
Bisnis.com, JAKARTA--Harga nikel mengalami pelemahan dalam jangka pendek seiring dengan proyeksi bertumbuhnya ekspor dari Indonesia.
Pada penutupan perdagangan Rabu (8/3), harga nikel di bursa London Metal Exchange turun 4,18% atau 445 poin menuju US$10.200 per ton. Artinya dalam dua hari terakhir, harga anjlok lebih dari 8%.
Sepanjang tahun berjalan, harga nikel meningkat 1,8%. Tahun lalu, harga berhasil tumbuh 13,61%.
Tai Wong, Direktur Perdagangan Komoditas BMO Capital Markets di New York, menyampaikan harga nikel merosot akibat proyeksi pertambahan ekspor bijih dari Indonesia. Keran ekspor kembali dibuka sejak ditutup pada 2014 lalu.
"Laporan dari Indonesia akhirnya memutuskan membuka ekspor bijih nikel kadar rendah setelah tiga tahun," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (9/3/2017).
Indonesia pernah menjadi pemasok bijih nikel terbesar ke China, sebelum larangan ekspor pada 2014. Sejak adanya larangan, Filipina mengambil peran sebagai eksportir utama.
Pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Untuk menindaklanjuti beleid tersebut, telah diterbitkan dua Peraturan Menteri energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang salah satunya ialah Permen ESDM no.6/2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.
Dalam beleid baru itu, tercantum peraturan perihal rencana penjualan ke luar negeri yang memuat salah satunya jenis dan jumlah mineral logam yang telah memenuhi batasan minimum pengolahan/nikel dengan kadar <1,7%.
Perusahaan tambang berhak untuk menerima rekomendasi ekspor adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)/ Izin Usaha Pertambangan Khuus (IUPK) yang sudah menjalankan smelter atau sedang dalam proses membangun. Selain itu, pemerintah memungkinkan pemegang IUP / IUPK yang telah bekerja sama dengan pihak lain untuk melakukan pengolahan mineral.
Jumlah ekspor diperkirakan mencapai 5,2 juta ton per tahun dengan menghitung kapasitas smelter yang ada. Menurut proyeksi Bloomberg Intelligence, volume tersebut dapat diterjemahkan ke kapasitas maksimum nikel sebesar 88.000 ton, atau sekitar 4,4% dari produksi tambang global sebanyak 2 juta ton pada 2016.
Jia Zheng, trader Shanghai Minghong Investment Management, menambahkan harga logam tertekan oleh kusamnya data ekonomi China yang menurunkan proyeksi permintaan. Biro Statistik Nasional setempat melaporkan pada Rabu (8/3) tingkat inflasi periode Februari 2017 turun ke 0,8% dari bulan sebelumnya sebesar 2,5%.
Bernard Dahdah dan Amlogir Miah, analis perusahaan investasi Natixis memaparkan, harga nikel didorong oleh penutupan tambang di Filipina dan ekspektasi peningkatan permintaan dari AS dan China. Diperkirakan tingkat produksi bisa menurun sampai 160.000 ton, atau 7,5% dari produksi nikel global pada 2016.
Pemerintah Filipina mengetatkan standar lingkungan industri pertambangan. Hasilnya, 23 tambang ditutup dan 5 lainnya mengalami suspensi. Tambang nikel yang mengalami kegagalan audit diperkirakan menyumbang setengah dari produksi Filipina pada 2015.
Natixis memprediksi, pasar nikel akan melanjutkan kondisi defisit suplai pada 2017 yang telah berlangsung sejak Agustus 2016. Rerata harga nikel tahun diperkirakan meningkat ke US$11.630 per ton, naik 21% yoy dari US$9.604 per ton pada 2016.