Harga Nikel Rendah, Vale Indonesia Rugi Rp 206,5 Miliar di 2017
Perusahaan nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mencatatkan kerugian sebesar USD 15,3 juta atau Rp 206,5 miliar (kurs: Rp 13.500) akibat harga nikel yang rendah. Kerugian ini sebenarnya menurun dibanding semester pertama tahun 2017 sebesar USD 21,5 juta seiring membaiknya harga nikel.
Sementara itu produksi nikel pada 2017 juga menurun 1% dari 77.581 ton dibanding tahun 2016 menjadi 76.807 ton. Namun, perusahaan berhasil membukukan penjualan sebesar USD 629,3 juta atau meningkat 8% dari penjualan tahun sebelumnya sebesar USD 584,1 juta.
Menurut Presiden Direktur INCO, Chris Kanter, Nico Kanter, perusahaan saat ini tengah melakukan efisiensi biaya agar beban tak membengkak dan menyebabkan kerugian. Salah satunya, dengan konversi bahan bakar dari HSFO (High Sulphur Fuel Oil) ke batu bara untuk tanur pengering dan reduksi.
"Dengan cara ini kami berhasil melakukan efisiensi biaya hingga USD 23 juta pada tahun lalu," katanya di Energy Building, Kawasan SCBD, Rabu (4/4).
"Kami juga akan coba pakai (batu bara) kalori yang lebih rendah untuk lebih efisien lagi, tahun lalu kalorinya masih 6.400 Kcal. Tahun ini kami turunkan, tapi tidak bisa di bawah 5.700 Kcal sesuai standar pabrik," jelasnya.
Sementara itu untuk tahun 2018, produksi nikel menurutnya tidak akan banyak berubah dari produksi tahun lalu, yakni sekitar 77.800 ton. Sebab, perusahaan tidak ingin mengambil risiko sehingga semua yang diproduksi harus terjual.
"Karena kalau profit itu tergantung harga nikel sehingga tidak bisa kita kontrol. Jadi yang bisa kami kontrol hanya produksi dan konsumsi," katanya.
Perusahaan juga telah menyiapkan belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar USD 95 juta. Dengan rincian, USD 77 juta untuk pengembangan berkelanjutan dan USD 18 juta untuk perbaikan berkala.