Harga Nikel dan Efisiensi Jadi Kunci Solditas Kinerja Vale
JAKARTA, investor.id - Ekspektasi kenaikan harga jual nikel setelah Pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel akan berimbas positif terhadap kinerja keuangan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) tahun ini. Namun, meluasnya wabah Virus Korona menjadi ancaman yang bisa memicu penurunan permintaan nikel dunia.
Analis DanareksaSekuritas Stefanus Darmagiri mengungkapkan, tahun ini Vale Indonesia tetap menjanjikan, meskipun realisasi laba bersih perseroan tahun 2019 turun menjadi US$ 57 juta dibandingkan 2018 yang sebesar US$ 61 juta. Sedangkan produksi dan penjualan nikel dalam matte diperkirakan mendatar tahun ini.
“Kami memperkirakan harga jual nikel akan kembali pulih pada paruh kedua tahun ini. Dengan didukung oleh berlanjutnya efisiensi biaya, kinerja keuangan Vale Indonesia tahun ini akan tumbuh solid,” tulis Stefanus dalam risetnya, barubaru ini.
Stagnannya volume produksi dan penjualan nikel dalam matte perseroan, menurut dia, dipengaruhi oleh rencana Vale Indonesia untuk membangun ulang tanur peleburan dan pengolahan bijih nikel (furnace) 4 yang ditargetkan pada kuartal IV-2020. Sebab itu, tanur tersebut akan dimatikan dalam jangka waktu lima bulan dengan target penyelesaian pada kuartal I-2021. Stagnannya target volume itu juga dipengaruhi oleh tidak adanya dampak peningkatan kapasitas produksi usai dilakukan aktivitas perbaikan dan perawatan Larona Canal Lining tahun lalu.
Tahun lalu, perseroan mencatat penjualan sebesar 72.044 ton nikel dalam matte, turun 5% dari penjualan 2018 sebesar 75.631 ton. Penurunan tahun lalu dipicu adanya aktivitas pemeliharaan utama Larona Canal Lining dan tanur listrik 4 pada semester I-2019.
Terkait biaya produksi, Stefanus menyebutkan bahwa Vale Indonesia akan melanjutkan penurunan biaya pendanaan produksi (cash cost of production) menjadi sekitar US$ 7.300 per ton tahun ini dibandingkan realisasi tahun 2019 senilai US$ 7.500 per ton. Penurunan biaya didukung oleh penurunan harga pembelian bahan bakar diesel, stabilnya harga energi, dan berlanjutnya inisasi pengurangan biaya produksi berkisar US$ 20 per ton tahun ini. Tahun 2019, perseroan berhasil memangkas biaya senilai US$ 28,9 juta dibandingkan target semula US$ 28 juta.
“Berbagai faktor tersebut diharapkan membuat kinerja keuangan Vale Indonesia tetap solid tahun ini, meskipun volume penjualan dan produksi nikel dalam mette cenderung stagnan sepanjang tahun ini,” jelas Stefanus. Adapun kinerja keuangan Vale pada kuartal I-2020 diperkirakan cenderung turun akibat harga nikel yang masih melemah. Sedangkan hingga akhir tahun ini diperkirakan bertumbuh, namun pertumbuhannya kemungkinan tidak sesuai target semula akibat perkiraan pemangkasan target produksi.
Danareksa Sekuritas memangkas target produksi dan penjualan nikel dalam matte Vale Indonesia dari sebelumnya 73 ribu ton menjadi 72.044 ton tahun ini. Sedangkan perkiraan harga harga jual nikel LME mencapai US$ 14 ribu per ton tahun ini dan nikel dalam matte diperkirakan senilai US$ 10.920 per ton. Pemangkasan target tersebut mendorong Danareksa Sekuritas untuk merevisi turun laba bersih Vale tahun ini menjadi US$ 83 juta dibandingkan perkiraan sebelumnya mencapai US$ 89 juta.
Proyeksi pendapatan juga direvisi turun dari US$ 797 juta menjadi US$ 787 juta. Begitu juga dengan perkiraan laba bersih Vale tahun 2021 direvisi turun dari US$ 107 juta menjadi US$ 106 juta. Revisi turun target kinerja keuangan tersebut mendorong Danareksa Sekuritas memangkas target harga saham INCO dari Rp 4.400 menjadi Rp 4.300 dengan rekomendasi beli. Target tersebut juga mempertimbangkan berlanjutnya efisiensi, ekspektasi pertumbuhan kinerja keuangan jangka panjang didukung pengembangan proyek, dan solidnya harga jual komoditas ini dalam jangka panjang. Sedangkan faktor yang bisa memangkas target harga saham INCO tahun ini datang dari fluktuasi harga jual komoditas tahun ini dan perkiraan tidak tercapaianya target volume produksi nikel dalam mette.
Di lain pihak, analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu mengungkapkan, Indonesia merupakan eksportir nikel terbesar di dunia atau setara dengan 27% dari total kebutuhan dunia. “Dengan mulai diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel, kami memperkirakan harga komoditas ini akan lanjutkan peningkatan,” tulis dia dalam risetnya. Dessy menegaskan, harga nikel berhasil naik 35,5% sepanjang tahun 2019 dengan inventori turun hingga 67,77%.
Tiongkok sebagai salah satu importir nikel dari Indonesia mulai melakukan stacking guna menghindari kekurangan suplai nikel untuk perusahaan baja di negara Tirai Bambu tersebut. Samuel Sekuritas juga memberikan pandangan positif terhadap ekspansi smelter Bahodopi. Menurut Dessy, investasi di Bahodopi bakal berimbas positif terhadap kinerja keuangan Vale tahun depan.
Investasi ini diperkirakan menelan dana US$ 2,1 miliar untuk smelter dan US$ 300 juta untuk investasi tambang. Berbagai faktor tersebut mendorong Samuel Sekuritas Indonesia mempertahankan rekomendasi beli saham INCO dengan target harga Rp 3.900. Target harga tersebut juga merefleksikan perkiraan kenaikan penjualan menjadi US$ 919 juta dan laba bersih US$ 107 juta tahun 2020. Dampak Korona Vale.
Menurut dia, merebaknya wabah Virus Korona berpeluang menekan permintaan nikel ke depan. “Kami mengkhawatirkan prospek bisnis nikel turun akibat wabah Virus Korona, karena bisa berimbas terhadap penurunan permintaan impor nikel. Pelemahan tersebut mengimbangi penurunan suplai setelah Indonesia melarang ekspor bijih nikel,” tulis dia dalam risetnya.
Adapun kekhawatiran tersebut didasari oleh pemberitaan tentang sejumlah produsen baja Tiongkok yang menghentikan proses produksi akibat kekurangan tenaga kerja setelahterimbas karantina Virus Korona. Dampak negatif virus tersebut dapat dilihat dari data persedian bijih nikel Tiongkok masih tinggi, meskipun ekspor bijih nikel dari Indonesia sudah dihentikan. Harga baja nirkarat dan baja terus menunjukkan penurunan hingga mencapai 14% dari puncaknya tahun lalu.
Richard juga menyoroti imbas permintaan nikel terkait penjualan mobil listrik. Menurut dia, penjualan mobil listrik nampaknya belum bisa diandalkan akibat kondisi ekonomi yang masih melambat. Apalagi, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak akan meluncurkan program subsidi baru mobil listrik guna mendongkrakn penjualan kendaraan jenis tersebut. “Kami meyakini pemulihan permintaan nikel akan berjalan lambat.
Bahkan, pemulihan permintaan diproyeksikan tidak bisa mengejar pertambahan produksi nikel dalam matte dari sejumlah smelter yang telah terbangun. Sebagaimana diketahui, Indonesia akan menambah 18 smelter mulai tahun ini hingga 2022,” sebut dia. Faktor kekhawatiran perlambatan permintaan bijih nikel mendorong Sinarmas Sekuritas untuk memangkas target harga saham INCO menjadi netral dengan target harga dipangkas menjadi Rp 3.200.
Target harga tersebut mengimplikasikan perkiraan PE tahun ini sekitar 26,6 kali dan EV/EBITDA mencapai 7,4 kali. Target tersebut juga memperhitungkan revisi turun target harga jual nikel LME menjadi US$ 14 per ton.
Sinarmas Sekuritas memperkirakan laba bersih Vale tumbuh menjadi US$ 86 juta pada 2020 dibandingkan perolehan tahun lalu sebesar US$ 57 juta. Pendapatan juga diperkirakan meningkat dari US$ 782 juta menjadi US$ 743 juta. Kinerja keuangan tersebut didasarkan perkiraan produksi nikel dalam mette stanan 71.025 ton tahun ini dengan harga jual sekitar US$ 14 ribu per ton.
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Harga Nikel dan Efisiensi Jadi Kunci Solditas Kinerja Vale" Penulis: Parluhutan Situmorang Read more at: https://investor.id/market-and-corporate/harga-nikel-dan-efisiensi-jadi-kunci-solditas-kinerja-vale