a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Harga komoditas masih lesu, simak rekomendasi saham emiten batubara

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa emiten batubara mencatatkan kinerja yang kurang apik sepanjang kuartal III 2019. Lemahnya harga batubara menjadi biang kerok dari turunnya kinerja emiten yang bergerak di sektor penambangan emas hitam ini

PT Bukit Asam Tbk (PTBA) misalnya, harus merelakan laba bersihnya turun 21,08% menjadi Rp 3,10 triliun. Padahal, pada periode kuartal III 2018 laba bersih PTBA mencapai angka Rp 3,93 triliun.

Meski demikian, PTBA mengantongi pendapatan sebesar Rp 16,25 triliun atau naik tipis 1,36% bila dibandingkan realisasi penjualan pada periode yang sama tahun 2018.

PTBA mengklaim, pendapatan usaha ini dipengaruhi oleh harga jual rata-rata batubara pada September 2019 yang turun 7,8% menjadi Rp 775.675 per ton.


Pun begitu dengan emiten batubara yang lain. Sebut saja PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang labanya merosot 63% menjadi US$ 76 juta dibandingkan periode sama 2018 yang sebesar US$ 205,2 juta.

Sementara itu, PT Indika Energy Tbk (INDY) justru mengalami nasib yang lebih buruk. INDY harus INDY mengalami rugi yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$ 8,60 juta di kuartal III-2019. Padahal, di kuartal III-2018 perusahaan masih sanggup mencatat laba bersih US$ 112,20 juta.

Meski demikian, INDY tengah berupaya untuk memperbaiki kinerjanya salah satunya dengan melakukan diversifikasi usaha. Salah satunya, INDY telah mengakuisisi tambang emas di Proyek Awak Mas sejak akhir 2018 silam.


Kepala Riset Koneksi Kapital Indonesia Marolop Alfred Nainggolan mengatakan, hingga 2020 harga jual rata-rata batubara (average selling price) sulit naik. Sehingga, ia menilai kinerja emiten batubara akan lebih ditopang oleh volume penjualan, bukan harga.

"Ketergantungannya lebih kepada pertumbuhan volume untuk mendongkrak topline-nya," ujar Alfred kepada Kontan.co.id, Kamis (21/11).

Meski demikian, ada secercah harapan terkait naiknya harga batubara khususnya pada kuartal IV 2029, yakni dengan datangnya musim dingin di negara-negara subtropis. Namun, Alfred menilai fenomena kenaikan ini bersifat siklikal atau pasti terjadi setiap tahunnya.

"Siklikal memang sudah kami prediksi sejak awal tahun bahwa pada kuartal IV selalu ada ruang kenaikan harga batubara. Jadi, bukan sesuatu yang cukup mengejutkan lagi," tambah Alfred.


Bahkan menurut Alfred, pelaku pasar juga sudah memperkirakan harga batubara akan sedikit terangkat pada kuartal IV 2019. Sehingga, kenaikan harga batubara menjelang musim dingin tidak menjamin sebagai katalis positif bagi saham-saham emiten batubara.

Selain datangnya musim dingin, melambatnya ekonomi China juga dipercaya dapat mengangkat harga batubara. Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal III turun ke level 6% dan menjadikannya yang terendah dalam 30 tahun terakhir.

Alfred bilang, hal ini akan membuat China mencari sumber energi yang mendukung efisiensi guna mendongkrak pertumbuhan ekonominya. Batubara termasuk bahan bakar yang relatif murah. Sehingga, kemungkinan besar China akan meningkatkan penggunaan batubara dengan alasan faktor efisiensi.

Setali tiga uang, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menilai, datangnya musim dingin secara tidak langsung dapat mengangkat harga batubara. "Di China, jika musim dingin PLTA-nya mati. Mereka switch batubaranya jadi lebih banyak," ujar Hans.


Meski demikian, dalam jangka panjang dia menilai prospek batubara masih cukup suram. Selain karena isu lingkungan dan pencemaran, perkembangan teknologi seperti baterai juga akan menyebabkan konsumsi batubara akan berkurang. Justru, Hans melihat nikel dan timah memiliki prospek yang lebih menarik.

Meski demikian, ia menilai ada beberapa saham emiten batubara yang masih menarik, yakni saham PTBA dan ADRO.

Pun begitu dengan Alfred yang menilai PTBA masih menjadi primadona diantara saham emiten batubara lainnya. Sebab, Alfred melihat PTBA memiliki pertumbuhan volume produksi dan penjualan yang cukup stabil.



"Untuk PTBA, rekomendasi buy on weakness dengan fair value Rp 3.480 per saham. Sebab kemungkinan masih ada ruang penurunan," pungkas Alfred.