KONTAN.CO.ID - LABUAN BAJO. Pemerintah bakal resmi memberlakukan larangan ekspor bijih nikel atau nickel ore mulai tahun 2020. Kebijakan tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mempercepat larangan ekspor ore nikel dari sebelumnya pada tahun 2022 menjadi ke 2020.
Di tengah kinerja ekspor Indonesia yang amat lesu sepanjang tahun ini, ekspor nikel tampaknya memoles kinerja penerimaan bea keluar dalam APBN 2019.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menyebut, penerimaan bea keluar sampai 12 November 2019 mengalami kemerosotan yang tajam. Realisasi bea keluar baru mencapai Rp 2,99 triliun atau turun 49,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun sampai dengan akhir Oktober lalu, penerimaan dari ekspor nikel menopang dengan capaian hingga Rp 1,1 triliun. Realisasi bea keluar dari ekspor nikel itu jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi Rp 659 miliar sepanjang tahun 2018 lalu.
“Memang terjadi peningkatan volume ekspor nikel terutama mulai September saat ada pengumuman moratorium (larangan ekspor nikel mulai 2020),” tutur Heru, Rabu (13/11).
September lalu, Heru merinci, penerimaan bea keluar dari ekspor nikel tumbuh 191% yoy atau setara dengan nilai Rp 170 miliar. Memasuki Oktober, bea keluar ekspor nikel makin melejit tumbuh 298% dengan nilai kenaikan sekitar Rp 300 miliar.
Meski berperan cukup besar dalam konsolidasi penerimaan bea keluar sepanjang tahun ini, Heru menjelaskan bahwa ekspor nikel tetap harus dihentikan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
Sebab, tujuan utama dari pelarangan ekspor nikel tersebut adalah memberikan nilai tambah yang lebih besar pada industri dalam negeri sehingga dapat mengecap kue bisnis produksi ore nikel ini sejak dari hulu sampai hilir.
“Melarang atau tidak melarang ekspor raw material itu bukan didasarkan utamanya pada aspek penerimaan. Penerimaan adalah konsekuensi dari keputusan melarang atau tidak melarang,” tandas Heru.