Hilirisasi Mineral: BUMN Antam Memang Harus Dibantu
HILIRISASI bukan hal baru, karena UU 11/1967 berkaitan dengan pertambangan sudah mendefinisikan pertambangan sebagai kegiatan usaha yang meliputi eksplorasi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Bahkan rezim undang undang ini mengelompokkan beberapa mineral logam kedalam strategis seperti timah, tembaga dan nikel atas dasar penggunaannya untuk industri strategis nasional, kelompok lainnya vital dan non sttrategis dan vital.
Bahkan kontrak karya tidak diperkenankan menjual mineral mentah nya, tetapi harus diolah. Tidak banyak perusahaan melakukan kegiatan pengolahan, kondisi ini menyebabkan tidak ada kompetisi dan inovasi dalam industri pengolahan mineral dalam negeri. Ekspor bahan mentah, pasir besi, bijih besi, bauksit dan bijih nikel berpuluh puluh tahun diekspor menghidupi industri negara lain. Tidak ada kebijakan yang mendorong terjadinya industri berbasis mineral di dalam negeri.
UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (Minerba) hadir untuk menegaskan kembali perlunya peningkatan nilai tambah mineral Indonesia. Dengan kebijakan ini ada unsur 'paksaan' untuk membangun industri dalam negeri, investasi datang ke sumber sumber mineral. Mineral bijih diproses menjadi logam atau produk yang lebih berharga dan bernilai. Undang undang memiliki visi bukan hanya meningkatkan nilai ekonomi, tetapi memasok secara berkesinambungan industri nasional, mengembangkan ekonomi daerah, dan tidak kalah pentingnya manusia Indonesia menjadi pintar dan menguasai teknologi proses mineral.
Saya bersyukur atas kepercayaan negara diberi tanggung jawab menyiapkan rancangan UU Minerba dan terus mengikuti pembahasan di DPR hingga terbitnya UU. Mulai dari penyusunan RUU dan UU Minerba sangat mandiri bebas dari dan tidak mau diintervensi asing terutama World Bank pada saat itu. Kedaulatan negara atas mineral sangat tegas pesannya dalam UU, tidak ada rezim kontrak, hanya ada izin, dan kewajiban pengolahan mineral dalam negeri diutamakan karena kita sudah lelah memasok kepentingan industri negara lain. Pencadangan negara untuk mineral tertentu diberikan terutama kepada BUMN.
Presiden Jokowi pada peresmian pabrik nikel di Morowali tahun lalu sangat tegas bahwa Indonesia jangan lagi mengekspor mineral mentah, tapi mari kita olah untuk menciptakan nilai tambah. Demikain pula Wakil Presiden dalam beberapa kesempatan, kita jangan lagi membicarakan ekspor mineral mentah. Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri sejalan dengan Undang Undang Dasar Pasal 33.
Bangsa ini harus maju kedepan, harus bangkit apalagi pada saat industri manufaktur dalam negeri mengalami penurunan pertumbuhan yaitu dari 29% pada 2001 menjadi 20% di 2015. Pemerintah tetap teguh manakala Jepang berniat membawa Indonesia ke WTO karena larangan ekspor bijih. Pemerintah terus maju memberikan argumentasinya, debat dengan Pemerintah Jepang termasuk di markas WTO. Jauh sebelumnya tahun 2005 saya ditugasi melakukan sosialisasi RUU Minerba di METI Jepang, menginfokan keinginan negara Indonesia untuk mewajibkan pengolahan pemurnian bijih sebelum diekspor.
Saya juga memberikan sosialisasi dihadapan manajemen BUMN tambang pada raker BUMN Tambang bertempat di Antam pada th 2005 dihadiri oleh Meneg BUMN Bpk Sugiarto saat itu, menyampaikan bahwa BUMN harus bersiap siap, suatu saat Indonesia tidak lagi boleh mengekspor bijih. Pada debat capres/wapres dua pasangan Pak Prabo-Hatta dan Pak Jokowi-Yusuf Kalla menjadikan peningkatan nilai tambah/larangan ekspor bijih menjadi salah satu icon kampanye. Demikian pula didalam Nawa Cita Presiden, hilirisasi menjadi perhatian khusus.
Komitmen dan konsistensi Pemerintah menjalankan undang undang telah membuahkan hasil yang luar biasa. Produksi nikel sebelum UU Minerba hanya 98 ribu ton, angka ini dicapai selama 40 tahun. Saat ini kapasitas produksi nikel yaitu sebesar 250 ribu ton dan akan menjadi 350 ribu ton tahun 2017 dan tahun berikutnya melebihi 400 ribu ton. Sedikitnya 30 puluh perusahaan membangun smelter nikel. Baja tahan karat (stainless steel) sudah pula dapat diproduksi oleh PT SMI. Bahkan saat ini sudah ada wacana untuk tidak mengeluarkan izin smelter karena akan kekuatiran kesulitan bahan baku. Pabrik smelter grade alumina sudah pula dibangun di Kalbar. Pasir besi demikian juga sudah mulai diolah.
Hasil riset LPEM UI yang dirilis 15 Desember yang lalu, walaupun masih terbatas untuk bauksit, menegaskan bahwa larangan ekspor memberikan dampak positif mengeliminir illegal mining dan memberikan manfaat ganda ganda sehingga kebijakan larangan ekspor harus dipertahankan. Hasil nya akan lebih sempurna apabila Pemerintah memberikan dukungan energi an infrastruktur, penggunaan tenaga kerja nasional dan penggunaan local content.
Kalau bicara hilirisasi mineral di Indonesia tentu BUMN Antam jawaranya, kira-kira istilahnya 'jangan mengajari bebek berenang'. Bahkan pada saat saya menjadi komisaris Antam visi Antam diubah dari leading dalam industri pertambangan menjadi leading dalam industri berbasis sumber daya alam. Perbedaan ini sangat mencolok, bahwa Antam berkomitmen memperkuat diri dalam industri hilir berbasis mineral, karena untuk urusan menambang laterit nikel tidak ada yang bisa menyaingi Antam saat ini. Sangat relevan manakala nanti Antam bergabung didalam Holding BUMN Tambang dimana Hilirisasi merupakan misi yang paling utama. Dengan cadangan nikel bauksit besar dan berkualitas maka kesempatan membangun industri terintegrasi secara vertikal sangat terbuka lebar. Pada saat saya menjadi komisaris PT Timah Tbk, meminta agar dilakukan pengembangan industri kimia berbasis timah. Saat ini brand produk nya sangat terkenal yaitu Bangka Stab.
Antam memulai membangun pabrik feronikel pada tahun 1976, empat puluh tahun yang lalu dengan kapasitas produksi saat ini 18 ribu ton dan sudah selesai kapasitas tambahan untuk menjadi 28 ribu ton. Saat ini kapsitas produksi nikel dari seluruh produksi perusahaan sudah mencapai 250 ribu ton, tambahan hanya dalam waktu singkat, tiga tahun. Bahkan stainless steel sudah diproduksi oleh Sulawesi Mining Investment di Konawe.
Tahun 1981 Antam memulai memikirkan untuk membangun smelter grade alumina, bahkan sudah mengirim para insinyur nya belajar ke Amerika. Niat ini sangat mulya karena alumina yang dihasilkan bisa memasok kebutuhan PT Inalum. Hingga saat ini belum terwujud, namun Antam membangun chemical grade alumina yang sudah berproduksi namun masih menghadapi kendala.
BUMN harus dibantu terutama Antam yang sedang dirundung kesulitan keuangan. Pada tahun tahun 2014 Meneg BUMN dan KESDM berembuk, ada tiga opsi untuk membantu Antam, pertama adalah melepas sebagian saham (write issue), kedua memberikan suntikan dana Pemerintah, atau ketiga menjual bijih ke luar negeri. Pemerintah memutuskan memberi suntikan dana sebesar 3,5 T mungkin plus 0,5 T suntikan dari public (agar tidak terdilusi sahamnya). Sehingga menjual bijih ke luar negeri tidak relevan lagi.
Pada saat Peraturan Menteri 1/2014 keluar tentang batasan minimal produk yang boleh diekspor, untuk nikel batas bawah 4%, jauh dibawah feronikel Antam berkadar 25-30%. Antam sudah disarankan untuk membangun smelter dengan produk nickel pig iron-NPI (feni kadar nikel rendah) karena ini bisa cepat menghasilkan cash, namun Antam tidak tertarik dengan alasan bahwa budaya Antam memproduksi kualitas tinggi. Namun toh akhirnya Antam saat ini tengah berupaya membangun NPI walaupun sedikit terlambat.
Antam terus berupaya menekan produksi, sehingga harus menggunakan bijih kadar nikel tinggi diatas 2%, mungkin saat ini sudah lebih rendah mengingat harga nikel sudah lebih baik. Perusahaan lain juga sama menggunakan mulai dengan kadar tinggi karena investasi di Indonesia sangat tinggi mengingat bukan hanya modal untuk bangun smelter tetapi juga sarana listrik dan infrastruktur. Apalagi mereka baru mulai membangun smelter sementara Antam hampir 40 tahun. Lambat laun mana kala ore kadar nikel tinggi menipis maka perusahaan akan menggunakan kadar rendah.
Sebagai jawara nikel bagi Antam tidak sulit mengolah nikel kadar rendah, hanya masalah keekonomiannya saja. Saat ini Pemerintah tengah membantu Antam untuk menyerap ore kadar rendah (di bawah 1,7%) di dalam negeri. Keinginan ekspor jelas bertentangan dengan undang-undang, tentu Antam akan malu, karena seharusnya memberi contoh menjalankan undang undang.
Rumor tentang relaksasi saja sudah merugikan Indonesia, harga nikel anjlok, investasi tertunda. Kredibilitas Pemerintah terkikis. Akan banyak pemegang IUP mengikuti langkah Antam melakukan ekspor illegal. Sebagai contoh pada saat 12 Januari 2014 larangan ekspor bijih dimulai, ternyata masih ada yang mengekspor bijih sampai pertengahan tahun. Apalagi kalau resmi dibuka, walapun niatnya terbatas.
Membantu Antam tidak dengan ekspor bijih. Pemerintah perlu menurunkan royalty yang dibayarkan Antam, saat ini 4%, seharusnya tidak lebih dari 2%. Kalau revenue dari jualan Feni 4 T, maka akan save 90 milyar Rp pertahun. Antam bersyukur memiliki konsesi bijih terbaik dan banyak di Indonesia, memiliki bargaining posisi yang sangat kuat. Untuk nikel kadar rendah Pemerintah terus berupaya mencarikan pembeli dalam negeri, yang juga harus juga sebenarnya harus diserap oleh Antam, karena mau tidak mau bijih nikel kadar rendah akan tetap digunakan.
Satu perusahaan swasta dengan teknologi hydro leaching menggunakan ore kadar nikel rendah sudah akan masuk komersial siap menyerap ore nikel kadar rendah dalam jumlah besar. Sekala pilot untuk baja laterit (low nikel) sudah dikembangkan LIPI, bahkan satu perusahaan swasta dalam sekala kecil sudah mulai menguprade bijih kadar kecil dari 0,8 % menjadi 4-5%. Jadi, kebijakan larangan ekspor bijih membangkitkan semangat riset dan inovasi di lembaga riset di perguruan tinggi dan Litbang KESDM. Bukan hanya ahli metalurgi saja yang terlibat juga lainnya seperti teknik kimia, fisika, mesin dan ahli material. Kalau tergiur dengan harga bijih nikel yang dijual dari Filipina, maka itu sesaat. Manakala Indonesia membuka ekspor, seketika harga jatuh akan merugikan Antam dan Indonesia.
PP 1/2014 dan Permen ESDM 1/2014 hanya membolehkan perusahaaan melakukan ekspor hasil pengolahan dan pemurnian, ore dilarang dan membangun fasilitas pemurnian suatu kewajiban. Saya berterima kasih kepada negara karena diberi tanggung atas drafting Permen 1/2014 dan ikut sebagai saksi hidup perumusan PP tsb. Karena tidak serius membangun smelter Tahun 2014 selama 6 bulan PTFI tidak boleh mengeksport konsentratnya. Kalau sekarang ore bisa diekspor maka suatu langkah mundur dibandingkan dengan Pemerintahan sebelumnya.
Membantu BUMN banyak cara. BUMN memliki hak mengambil wilayah yang dicadangkan negara, termasuk area pelepasan kontrak karya dan PKP2B, seperti lepasan PTFI, Vale dan lainnya. Ini akan menimbulkan leverage bagi Antam, Timah dan PTBA serta INALUM Semuanya perlu dukungan Pemerintah dan DPR untuk memperolehnya. IUP yang tidak clear and clean dicabut dan wilayahnya dijadikan pencadangan negara dan diberikan kepada BUMN.
Mari kita kawal hilirisasi yang sudah maju ini, padahal ini baru selangkah yaitu baru mengekstrak logam utama nikel, tembaga, emas dan perak, belum melangkah mengekstrak logam ikutan seperti kobal, kromium, logam tanah jarang, titanium, vanadium, zircon, Tantalum, timah hitam dan thorium serta memproduksi logam campuran. Belum lagi mineral non logam yang saat ini masih banyak kita import. Masih banyak pekerjaan rumah. Tugas kita mendorong industri pengolahan yang kompetitif, untuk itu kebijakan harus konsisten jangan ada gangguan ditengah jalan. Bangsa Indonesia harus maju, tidak waktunya lagi kita menjual tanah air. Bagi Perindustrian yaitu menyerap alumina, Feni dan NPI bagi kebutuhan dan pengembangan industri hilirnya.
BUMN tidak sendiri lagi, kompetisi semakin ketat di dalam negeri apalagi global, namun BUMN memiliki jenis usaha yang sudah digeluti berpuluh puluh tahun sudah mandarah daging baik manajemen dan teknologi, mungkin jauh lebih lama dari perusahaan China mengenal nikel. Bagi Indonesia dua komoditi bijih nikel dan timah memliki keunggulan komparatif di dunia, maka orang lain akan tetap mengincarnya. Ini kesempatan baik membangun industri berbasis logam tersebut sampai finished product. Untuk bauksit competitor Indonesia adalah Australia, bahkan sekarang Australia sudah menggunakan low Al2O3 (27-30%) untuk pabrik aluminanya.
Malaysia sudah menutup sebagian besar tambangnya, demikian pula Filipina menutup sebagian tambang nikelnya. Untuk tembaga, BUMN seharusnya membantu Pemerintah focus memecahkan masalah pemurnian konsentrat tembaga termasuk anoda slime pemegang kontrak karya dan IUP. Keinginan ekspor ore menambah keruwetan dan menambah energi yang terbuang. Begitu banyak rapat rapat untuk membicarakan Antam. Seharusnya kita memberikan perhatian dan membantu perusahaan yang patuh kepada undang undang Minerba dengan memberikan dukungan energi, kemudahan fiscal dan mempercepat perizinan serta membantu supply ore ke smelter.
Hentikan keinginan yang hanya menghidupi industri negara lain dengan memasok bahan baku ore. Giliran kita untuk maju sekarang. Keinginan saya, yang juga bagian dari keluarga Antam krn pernah menjadi komisaris di Antam, ingin BUMN maju dan harus maju. Harus diingat, Kita tidak membeli bahan baku a.l tanah laterit bauksit dan nikel untuk industri mineral dan logam, karena Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberinya secara gratis. Tuhan memberi kita akal untuk mengolahnya menjadi logam atau bernilai tambah, karena bijih tidak berguna tetapi logam didalamnya yang berguna, bijih berharga karena ada negara lain yang memerlukan logamnya. Mereka tidak punya sumber daya tetapi maju, patut dicontoh.
Suatu saat manakala industri kita kompetitif giliran kita menggunakan sumber daya dari luar negeri untuk diolah di negeri Indonesia tercinta. Kemakmuran harus diciptakan bukan karena warisan sumber daya, tenaga kerja yang berlimpah, mata uang atau suku bunga” seperti yang diungkap Michael Porter.