a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Hilirisasi Tambang Mineral Tumbuhkan Daya Saing Perekonomian Indonesia di Dunia

JAKARTA - Peningkatan nilai tambah pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri (hilirisasi) akan menumbuhkan daya saing perekonomian Indonesia di dunia.

Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengemukakan, hilirisasi pertambangan mineral di dalam negeri untuk mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab itu, dia menegaskan pentingnya hilirisasi pertambangan mineral yang sesuai dengan konstitusi. Kebijakan hilirisasi untuk apa?

Menurutnya, ada tiga hal penting untuk sustainibility/keberlanjutan sumber daya mineral nasional, pertama bagaimana menginventarisasi dengan akurat data cadangan sumberdaya dari data eksplorasi yang betul-betul meyakinkan. "Kerana sampai sekarang ini masih menjadi masalah," ujar Irwandy dalam seminar yang diselenggarakan Majelis Nasional KAHMI, Jakarta, Senin (20/2).

Kedua, pemanfaatan sumberdaya. Namun, kata dia, pemanfaatan sumber daya mineral masih terkendala, khususnya perusahaan tambang pemegang lisensi Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). "Ini khususnya juga menyangkut masalah divestasi," tuturnya.

Ketiga, program hilirisasi dan konservasi untuk persoalan-persoalan peningkatan nilai tambah. "Jadi hilirisasi itu merupakan bagian dari pemanfaatan konservasi," terangnya.

Dikatakanya, fungsi hilirisasi meliputi peningkatan nilai tambah (value added), pengembangan industri hilir mineral, peningkatan kemampuan teknologi dan Sumber Daya Manusia, mendukung tripple bottom line, menumbuhkan ekonomi nasional, dan ketahanan nasional.

Hilirisasi mineral, kata Irwandy, berdampak pada pertama, perekonomian dan industri nasional yaitu memberikan ruang yang lebih besar bagi peningkatan perekonomian dan industri nasional dengan memperpanjang mata rantai industri ke hilir (forward linkages) dan memperbesar kesempatan industri nasional untuk mendukung industri yang berkembang tersebut.

Kedua, neraca perdagangan yaitu mengindari "terms of trade" ekspor bahan mentah yang rendah terhadap impor bahan jadi (final product) yang lebih tinggi sehingga membuat kinerja neraca perdagangan nasional memburuk.

Ketiga, perekonomian lokal, yaitu meningkatnya umumr tambang dapat memberikan peluang peningkatan kapasitas ekonomi lokal melalui diversifikasi kegiatan yang lebih beragam sejalan adanya forward dan backward linkages.

Keempat, pengembangan infrastruktur, dengan munculnya diversifikasi industri lebih ke hilir maka "supply chain" darihulu ke hilir semakin berkembang dan "economic scale" untuk mengembangkan infrastruktur yang akan mendukung supply chain ini dimungkinkan serta "sharing capacity" bagi industri lain menjadi terbuka.

Kelima, pengembangan wilayah, memberikan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan wilayah terpencil tempat terdapatnya pertambangan dan smelter.

Keenam, peningkatan kapasitas manusia, meningkatkan "human capacity building" karena terjadi peningkatan pemahaman terhadap "technology process" dan "material science" bahan-bahan berbasis sumber daya mineral.

Ketujuh, mendukung program konservasi dengan konsistensi pada perencanaan produksi jangka panjang melalui konsistensi terhadap kualitas kadar (cut off grade) tingkat produksi yang ada, sehinga jumlah cadangan sesuai perencanaan jangka panjang.

"Dan selalu berupaya memaksimalkan seluruh sumber daya agar dapat dimanfaatkan," ungkapnya. Serta memberikan ruang untuk meningkatkan rasio "recovery/deplection of resources" melaluiprogram konservasi yang konsisten untuk jangka panjang.

Kedelapan, penerapan "good mining practice" yaitu menghindari terjadinya praktik "over exploitation" dan mendorong diterapkannya "good mining practice".

Aspek Hukum
Lebih lanjut Irwandy menuturkan, hilirisasi tambang mineral berdasarkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) jo. PP 23/2010 sebagaimana diubah dengan perubahan terakhir pada PP 1/2017.

Menurutnya, pengaturan mengenai ekspor hanya berkaitan dengan kebutuhan dalam negeri dimana ekspor hanya dapat dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi setelah terpenuhinya kebutuhan mineral dalam negeri.

"Besarnya kebutuhan dalam negeri itu sendiri ditetapkan oleh Menteri (Pasal 84 PP 23/2010)," katanya.

Pasal 103 UU Minerba, lanjut dia, mengenakan kewajiban kepada pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

"Pasal tersebut lebih lanjut menyebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian. Pengaturan ini konsisten dengan aturan yang tercantum dalam PP 23/2010 (sebagaimana diubah terakhir dengan PP 1/2017, pasal 93, pasal 112c)," terangnya.

Dari UU Minerba dan PP 23/2010, sebagaimana diubah dari waktu ke waktu tersebut, jelas terlihat bahwa tidak ada hubungan langsung antara kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam negeri dan ekspor dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Sedangkan mengenai Kontrak Karya, lanjut Irwandy, harus dilihat kembali bagaimana pengaturan mengenai kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian.

"Jika memang di dalam KK tersebut memang diatur mengenai pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian, maka aturan tersebut akan mengikat para pihaknya (asa Kontrak berlaku sebagai undang undang bagi para pembuatnya)," tuturnya.

Sebab itu, kata dia, hal yang perlu dilakukan segara untuk aspek jangka panjang adalah revisi UU Minerba, sinkronisasi peraturan dan UU.