IMA: Pemerintah wajib melindungi penambang nikel dan pengusaha hilirisasi nikel
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan tata niaga nikel termasuk harga bijih nikel yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2020 belum berjalan dengan baik. Hal ini seiring kesulitan yang dihadapi para penambang bijih nikel dalam menjual produknya kepada pengelola smelter domestik.
Pelaksana Harian Direktur Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menilai, pemerintah melalui Kementerian ESDM sudah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk prinsip-prinsip ekonomi yang berkeadilan dalam menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) Logam.
Dengan begitu, isu tak sedap yang melibatkan penambang nikel dan pemilik smelter lokal seharusnya tidak terjadi. “Pemerintah wajib melindungi penambang nikel dan pengusaha hilirisasi nikel,” kata Djoko, Rabu (24/6) malam.
Menurutnya, polemik tersebut perlu diselesaikan secara tegas oleh Kementerian ESDM. Ketentuan HPM yang tertera dalam Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 pun harus dijalankan oleh semua pihak.
Pemerintah juga diminta tetap menutup keran ekspor bijih nikel kadar rendah meski ada permintaan penjualan ekspor oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Hal tersebut demi menjaga cadangan nikel yang ada di Indonesia. “Sehingga pada saat industri hilir tumbuh kembang, Indonesia masih memiliki bahan dasar atau bijih nikel yang cukup,” ujar dia.
Catatan Kontan.co.id, Kementerian ESDM pernah menyebut bahwa saat ini Indonesia memiliki sumber daya nikel sebanyak 9,31 miliar bijih ton dan total cadangan 3,57 miliar bijih ton.
Dalam berita sebelumnya, APNI melayangkan protes kepada pemerintah lantaran tidak bisa menjual bijih nikel kadar rendah kepada para pemilik smelter lokal, sehingga mereka meminta keran ekspor kembali dibuka secara terbatas.
Adapun Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) mengaku, pihaknya memilih untuk membeli bijih nikel dari penambang yang bukan anggota APNI, melainkan penambang yang tidak mengikuti HPM Logam sesuai Permen No 11 Tahun 2020.