Impor Emas RI dan Laba Antam Meroket, Apa Kabar Freeport?
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Aneka Tambang Tbk (Antam) membukukan lonjakan laba bersih sebesar 541% pada tahun lalu, berkat lonjakan penjualan emas yang memecahkan rekor. Bersamaan dengan itu, impor emas negeri ini juga menyentuh rekor baru.
Tentu masih lekat di benak kita ketika pemerintah sukses memiliki 51% saham PT Freeport Indonesia yang beroperasi puluhan tahun hingga mengubah "bukit emas" Grasberg di Papua menjadi jurang buatan.
Namun, ironisnya, negeri ini selama bertahun-tahun terus mengimpor emas murni, dan berlangsung sampai dengan sekarang. Tidak heran, emas masuk ke jajaran 15 besar komoditas impor utama Indonesia.
Hingga tahun 2018, nilai impor emas mencapai US$986,1 juta (Rp 14,1 triliun), berada di posisi ke-15 mengekor impor propana/elpiji (US$1,05 miliar), kedelai (US$1,1 miliar), komponen sirkuit (US$1,2 miliar), dan kapas (US$1,4 miliar).
Jika permintaan emas masih terus tumbuh menyusul kenaikan kebutuhan instrumen lindung nilai (hedging) di tengah ketidakpastian global dan tahun politik, bukan tidak mungkin tahun ini kita melihat impor emas nasional menembus level psikologis baru pada US$1 miliar.
Lalu apakah impor ini ada hubungannya dengan Antam? Tentu saja. Lompatan laba bersih BUMN tambang senilai Rp 874,42 miliar pada tahun lalu tersebut dipicu oleh penjualan emas, yang menyumbang 66% dari penjualan konsolidasi.
Penjualan konsolidasi Antam tercatat sebesar Rp 25,24 triliun, naik nyaris dua kali lipat (99,47% YoY) dibanding penjualan tahun 2017 yang hanya Rp 12,65 triliun. Dari angka itu, penjualan emas mencapai Rp 16,7 triliun, naik 126% dari pos yang sama pada 2017 sebesar Rp 7,4 triliun.
Pada tahun lalu, perolehan Antam dari penjualan emas tercatat menyentuh titik tertingginya dalam sejarah. Volume penjualan (unaudited) emas meroket 111% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi 27.894 kilogram (kg) dari sebelumnya 13.202 kg, atau naik dua kali lipat.
Namun, lonjakan penjualan emas ini tidak dibarengi dengan lonjakan volume produksi. Volume produksi emas emiten berkode ANTM ini malah turun 1%, menjadi 1.957 kg dari sebelumnya 1.967 kg. Margin penjualan emas juga tidak berubah, masih di kisaran 2-3%.
Ke Mana Mencari Sumber Emas Baru? Lalu dari mana Antam mendapat pasokan untuk memenuhi lonjakan permintaan emas dari para konsumen? Ya, salah satunya dari impor. Perseroan belum menemukan dan mengeksploitasi tambang emas yang baru.
Pada tahun 2017, menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, 82% dari volume penjualan emas Antam berasal dari emas yang dibeli dari pihak lain, salah satunya Singapura. Sementara itu, hanya 18% yang dipenuhi dari tambang Pongkor Jawa Barat dan Cibaliung Banten.
Tanpa ada temuan cadangan emas baru, dan tanpa kontribusi dari Freeport, maka besar peluang Antam masih harus mengimpor 80% komoditas emas dari negeri tetangga yang tak punya bukit ataupun cadangan emas sama sekali, yakni Singapura.
Mengutip laporan keuangan Freeport-McMoRan Inc, induk usaha Freeport Indonesia, produksi emas Freeport Indonesia sepanjang 2017 naik 46,5% atau sebesar 1,554 juta ounce. Angka ini setara dengan 44.055,2 kg, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan Antam.
Jika Antam menyerap semua emas produk Freeport tersebut untuk memenuhi "defisit" emas miliknya, maka neraca perdagangan nasional akan sangat terbantu, dengan hilangnya nilai impor emas sekitar US$1 miliar tahun depan.
Perlu dicatat, tahun lalu kita defisit perdagangan US$400 juta. Bukan tidak mungkin tahun ini posisi neraca dagang akan berbalik surplus jika Antam tak mengimpor emas lagi berkat kontribusi emas Freeport. Pertanyaannya, bisakah diarahkan menuju ke sana?
Kita lihat saja apakah kepemilikan saham 51% otomatis membuat Indonesia bisa mengambil keputusan strategis di perusahaan multinasional tersebut. Perlu dicatat, penjualan emas terkadang dilakukan dengan sistem kontrak berjangka sehingga tak bisa diubah sewaktu-waktu.