Indonesia Sudah Mengalami Gejala Deindustrialisasi
JAKARTA - Beragam upaya dilakukan pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi kembali ke level positif setelah terdampak pandemi. Salah satunya dengan mendorong pertumbuhan industri manufaktur kembali ke level positif.
Sampai dengan kuartal III-2020, pertumbuhan industri manufaktur masih berada dalam zona pertumbuhan negatif. Secara tahunan pertumbuhan industri manufaktur tumbuh minus 4,31 %, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang dapat mencapai 4,1%. ( Baca juga:Investasi Moncer di 2020, Tapi Belum Ngefek ke Ekonomi )
Penurunan kinerja industri manufaktur juga terlihat dari tingkat utilisasi industri manufaktur yang turun drastis, dari 75% sebelum pandemi menjadi hanya sekitar 50% ketika terjadi pandemi. Sementara itu, meski masih menjadi sektor dengan sumbangan terbesar, namun kenyataannya proporsi sektor industri terhadap PDB Indonesia telah menurun setidaknya dalam lima belas tahun terakhir.
Menurut Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal, penurunan share manufaktur dalam perekonomian merupakan salah satu gejala deindustrialisasi dini yang telah dialami Indonesia di satu dekade terakhir.
"Kondisi ini tentu perlu diwaspadai mengingat sektor industri manufaktur menjadi kunci dalam mendorong pemulihan ekonomi yang lebih tinggi hingga penciptaan lapangan kerja," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Apalagi pandemi Covid-19 juga turut berdampak pada sektor ini. Menurut laporan dari survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), industri manufaktur merupakan satu dari tiga sektor terbesar yang mengambil kebijakan pemberhentian pekerja dalam waktu singkat.
Sebanyak 52,23% perusahaan dalam lingkup industri pengolahan mengaku melakukan pengurangan pegawai di tengah pandemi. Angka tersebut termasuk tinggi dibanding dengan lapangan usaha lainnya. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini mengalami penurunan dari 19,2 juta orang pada Agustus 2019 turun 8,93% pada Agustus 2020 menjadi 17,5 juta orang.
"Memang betul, sampai dengan November 2020 secara keseluruhan ekspor produk manufaktur mampu mencatatkan pertumbuhan positif bahkan lebih baik dibandingkan pertumbuhan tahun lalu," beber Faisal.
Jika dilihat kenaikan ini juga tidak terlepas dari ekspor subsektor manufaktur logam dasar yang mengalami peningkatan hingga 20%. Kenaikan subsektor industri logam tidak terlepas dari kebijakan investasi pemerintah yang mendorong pembangunan smelter dan pelarangan ekspor mineral dan batu bara dan juga pelarangan ekspor biji nikel.
Sayangnya, menurut dia tidak semua sub-sektor dari industri manufaktur bisa menikmati kinerja pertumbuhan ekspor positif.
"Sektor industri unggulan lainnya seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) melanjutkan kinerja pertumbuhan ekspor negatif di tahun lalu. Kondisi industri tekstil dan produk tekstil memang tidak begitu menggembirakan setidaknya dalam 3 tahun terakhir," ucapnya.