a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Industri Baja Nasional: Investasi, Produksi dan Proteksi

Bisnis.com, JAKARTA - Industri baja nasional punya masa depan yang cerah. Setidaknya bayangan itu muncul setelah Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan ekspor besi baja bisa mencapai US$12, 3 miliar atau US$12,5 miliar pada tahun ini.

Bahkan, dalam empat tahun mendatang, Luhut menyebut nilai ekspor besi dan baja bisa meningkat lebih dari tiga kali lipat pada 2024 dari realisasi 2019.

Pasalnya proyek investasi carbon steel yang ada di Morowali sedang dibangun dan dapat berproduksi pada 2024, sehingga saat itu ditargetkan ekspor mencapai US$26 miliar atau US$23 miliar stainless carbon steel.

Luhut mengatakan Indonesia tidak akan lagi berbicara ekspor komoditas mentah melainkan penjualan produk yang memiliki nilai tambah. Misalnya, dengan larangan ekspor bijih nikel, nilai tambah ekspor Indonesia dari baterai litium bisa 15 kali lebih besar.


Proyeksi pertumbuhan ekspor besi dan baja ke depan, juga didukung dengan komitmen investasi perusahaan China di Tanah Air.

Sebut saja seperti investasi Xinxing Ductile Iron Pipes Co. Ltd, melalui anak usahanya XinXing Qiyun Investment Pte Ltd dan Corsa Investments Pte. Ltd. dengan Harita Grup yang diwakili oleh PT Harita Jayaraya, yang akan membangun membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Baca juga: Menperin Sebut Larangan Ekspor Kunci Hilirisasi

Selain itu, investasi yang berada di kawasan industri Morowali, seperti PT Sulawesi Mining Investment, PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, PT Tsingshan Steel Indonesia, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel, dan PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy.

Migrasi investasi logam dari China ke Indonesia bukan tanpa alasan. Berdasarkan ulasan South East Asia Iron and Steel Institute yang sudah diunggah sejak 5 Juni 2018, ekspansi bisnis perusahaan besi dan baja asal China ke negara-negara Asean karena adanya upaya pemangkasan produksi dalam negeri.

Pengendalian produksi baja China, merupakan upaya pemerintah terkait kebijakan lingkungan. Maka wajar, Indonesia menjadi ladang empuk bagi 'relokasi' investasi besi dan baja China.

Kinerja ekspor baja yang menjanjikan di masa mendatang, ternyata tidak memuaskan berbagai pihak. Investasi besar-besaran perusahaan asal China di Indonesia dianggap berpotensi membunuh investasi ke industri besi baja yang telah lebih dulu berdiri.

Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) menyatakan proyeksi Luhut soal ekspor, tidak dapat terlepas dari proyeksi investasi yang akan datang. Oleh karena itu, asosiasi mengajak pemerintah berdialog untuk menjaga kesehatan industri besi baja nasional.

"Hal-hal seperti ini yang perlu duduk bersama [untuk meramalkan] dampaknya seperti apa. Apakah yang lokal ini harus disinergikan dengan asing? Kehadiran [industri baja di] Morowali saja sudah berdampak untuk PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. dan kami [pabrikan swasta]," ujar Wakil Ketua Umum IISIA Ismail Mandry kepada Bisnis.com, Rabu (5/2/2020).

Adapun, Ismail meramalkan sebagian besar investasi tersebut akan berasal dari China. Menurutnya, industriawan Negeri Panda pun kini kebingungan dengan kapasitas pabrikannya yang sudah mendekati angka 1 miliar ton per tahun.

Ismail menilai pemerintah harus menyatakan keberpihakannya kepada investasi besi baja terdahulu yang sekarang masih tergolong pabrikan kecil. Menurutnya, pembukaan pintu investasi tersebut akan membuat pabrikan baja kecil secara alamiah gulung tikar.

"Karyawan itu yang jadi korban paling ujung. Pengusahanya bisa berubah jadi trader," katanya.

Oleh karena itu, Ismail menganggap terbukanya investasi pada industri baja saat ini merupakan bom waktu yang menunggu meledak. Adapun, Ismail memproyeksikan volume produksi baja pabrikan lokal pada tahun ini hanya akan tumbuh sekitar 5 persen secara tahunan.

"[China akan] masuk ke tempat seperti ini karena industri baja kita stuck saja. Dengan masuknya [investasi] China kemari, ya pasti ada korban," ucapnya.

MENJUAL EFISIENSI

Dalam sebuah perjalanan pada medio 2018 lalu, Bisnis.com berkesempatan mengunjungi PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). IMIP diprakarsai dari kerja sama antara Delapan Bintang Group dan Tsingshan Group.

Sebelum membangun industri berbasis nikel di Tanah Air, Tsingshan Group merupakan memiliki 3 unit produksi nikel pig iron (npi) dengan kapasitas 2 juta ton dan 3,4 juta ton stainless steel.

Harus diakui kawasan ini sudah masuk kawasan industri terintegrasi, dengan dukungan pembangkit listrik, keberadaan pelabuhan khusus untuk kapasitas 100.000 dwt.

Perusahaan mengklaim salah satu faktor yang membuat kawasan industri terintegrasi ini adalah keunggulan biaya logistik. Pasalnya, tidak ada istilah dwelling time.

Kawasan Industri Morowali telah menyerap investasi sekitar US$6 miliar yang berasal dari Tsingshan dan Bintang Delapan Group serta pembangunan pabrik baja karbon Dexin Steel Indonesia yang menelan investasi sekitar US$1,1 miliar.

Dexin Steel Indonesia merupakan joint venture antara produsen baja asal China Delong Holdings, melalui anak usahanya Delong Steel Singapore Projects, bersama PT Indonesia Morowali Industrial Park dan Shanghai Decent Investment Group.

Total investasi di tahap awal disebutkan sekitar US$950 juta. Sebesar 70 persen dari dana tersebut berasal dari pendanaan bank. Delong Steel Singapore Projects akan memiliki saham sebesar 45 persen, Shanghai Decent sebesar 43 persen dan IMIP sebesar 12 persen.

Melihat sekelumit investasi baja nasional rasa-rasanya memang menjanjikan. Keberlangsungan investasi dasar dianggap menjadi detak jantung manufaktur Indonesia.