Industri Smelter Ambruk Akibat Implementasi Relaksasi Ekspor
Jakarta, EnergiToday-- Akibat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sebanyak 12 perusahaan smelter nikel dalam negeri 'megap-megap' usai implementasi relaksasi ekspor.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo kepada wartawan di Jakarta.
Namun, Jonatan menjelaskan, 11 smelter nikel lainnya telah gulung tikar. Itu artinya, secara keseluruhan, 23 smelter nikel terkena imbas aturan main baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau sebanyak 92 persen dari total smelter sebanyak 25 perusahaan.
Itu artinya, cuma dua smelter saja yang masih beroperasi baik hingga saat ini. "Dari yang tutup, kebanyakan enggan diekspos, karena mereka gengsi kalau mau tutup. Sebagian masih ada urusan dengan perbankan, sebagian lainnya tak mau diumumkan, karena takut ada gejolak dengan karyawan," ujarnya.
Jonatan mengungkapkan, ambruknya industri smelter dikarenakan harga nikel terperosok cukup dalam setelah pemerintah mengumumkan pelonggaran ekspor. Alhasil, biaya produksi nikel olahan lebih tinggi ketimbang harga jualnya.
Pasalnya, tambah Jonatan, Harga Pokok Produksi (HPP) nikel yang telah dimurnikan tercatat sebesar US$9.600 per ton untuk smelter yang dimurnikan dengan teknologi blast furnace.
Selain itu, lanjutnya, HPP untuk nikel yang dimurnikan dengan smelter listrik senilai US$9.900 per ton. Ironisnya, harga nikel di pasaran sempat dilego di level US$8.600 per ton. Yang artinya, pelaku usaha, mau tidak mau, terpaksa menelan kerugian.
Sebagai informasi, fakta banyaknya smelter yang sekarat ini menciutkan nyali investor untuk melanjutkan investasinya. Tengok saja, hanya ada lima smelter yang berhasil terealisasi dari 12 smelter bauksit dan nikel yang direncanakan sejak 2015 lalu.
Sementara itu, dari empat smelter yang direncanakan di tahun lalu, cuma dua di antaranya yang terealisasi. Investor smelter tersebut menyetop investasinya di Indonesia, mereka yang kebanyakan berasal dari China ini lalu mengaktifkan kembali smelter di negara asalnya. Kondisi ini dibuktikan dengan dikirimkannya ore nikel sebanyak enam kapal pada Mei 2017.