Industri smelter di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan berat, apa saja?
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesian Mining Association (IMA) memaparkan ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi industri smelter di Indonesia.
Pelaksana Harian Direktur Eksetuif IMA, Djoko Widajatno menjelaskan salah satu hambatan industri tambang adalah perizinan. "Perizinan sudah ada Online Single Submision (OSS), tapi ada menteri yang bilang tambang jangan (pake OSS) jadi izin tambang lama," ujar Djoko dalam pemaparannya di Jakarta beberapa waktu lalu .
Djoko bilang hal ini perlu kita kembali dievaluasi dan semoga omnibus law bisa menciptakan kontrol terpusat. Djoko bilang omnibus law diharapkan mampu menciptakan sistem terkontrol yang lebih baik.
Baca Juga: BKPM masih pede mengejar target investasi di tengah mewabahnya virus corona
Mengintip materi paparan Djoko berjudul "Perkembangan Mineral di Indonesia" mengungkapkan ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh industri smelter di dalam negeri.
Pertama, bagaimana memperkuat ekspor (value added mineral) dan substitusi impor (barang industri) dengan produk akhir mineral untuk mengurangi neraca transaksi berjalan atau current account deficit.
Kedua, terdapat beberapa isu yang terus mengemuka seperti kurangnya stok bahan baku yang menyebabkan beberapa smelter yang sudah dibangun berhenti, terutama smelter nikel.
Ketiga, ketahanan cadangan nikel di Indonesia makin berkurang seiring dengan semakin bertambahnya smelter nikel yang selesai dibangun.
Terakhir, walaupun smelter mineral telah banyak dibangun di dalam negeri, masih terdapat beberapa industri hilir pertambangan yang justru mengimpor bahan bakunya. Djoko mencontohkan PT Inalum.
Padahal sektor hulu dari bahan baku utama tersedia di dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa belum terdapat link and match antara hulu dan hilir di sektor industri pertambangan.
Meski ada tantangan, tentu ada peluang yang terbuka di masa depan untuk industri pertambangan di Indonesia.
Djoko menjelaskan peluang ini bisa dilakukan melalui create value added product yaitu dengan melakukan produksi bahan-bahan tambang mineral menjadi produk akhir serta membangun pusat-pusat pertambangan beserta produk akhirnya.
Djoko mencontohkan, misalnya coal based petrochemical harus berpusat di Kalimantan. Di sana memproduksi coal added value product seperti methanol, ethanol, dan lainnya.
Adapun dalam mewujudkan industri produk yang bernilai tambah, tentu harus didukung dengan sumber energi listrik yang kompetitif. Djoko bilang saat ini adalah PLTU, batubara sebagai sumber energi listrik. Tentunya, untuk pembangunan PLTU-PLTU ini bisa bersinergi dengan pertambangan batubara.