Ini Penyebab Pasar Global Membeli Timah Indonesia dari Singapura
TEMPO.CO, Pangkalpinang - Perdagangan timah murni batangan asal Indonesia melalui Singapura pada semester I 2019 melonjak hingga 100 persen. Lonjakan ini akibat meningkatnya status Country Risk Indonesia dalam perdagangan internasional. Hanya kurun waktu 10 bulan pasca terhentinya ekspor timah perusahaan smelter swasta, Singapura menguasai 49 persen ekspor timah Indonesia.
Komisaris Utama Indonesian Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) atau bursa timah Fenny Wijaya mengatakan saat ini pasar global lebih memilih membeli timah melalui pasar Singapura ketimbang langsung ke bursa Indonesia. Hal itu disebabkan pelaku pasar menilai tidak adanya kepastian hukum produk timah murni batangan Indonesia.
"Hingga Juli 2019, ekspor timah melalui ICDX dengan negara tujuan Singapura sudah 19.620 Metric Ton dengan transaksi USD 387,3 Juta. Ini menguasai 49,50 persen dari total ekspor. Sampai Singapura tentu dijual lagi. Pasar pun lebih memilih membeli dari Singapura meski harga lebih tinggi karena kepastian hukum timah Indonesia sudah tidak dipercaya," ujar Fenny kepada wartawan di Pangkalpinang, Rabu, 7 Agustus 2019.
Fenny menuturkan tidak bisa diekspornya timah milik salah satu smelter di Bangka Belitung yang sudah ditransaksi berpengaruh besar terhadap kepercayaan pasar global. Hal itulah yang membuat reputasi Indonesia di perdagangan internasional menurun dan meningkatkan status Country Risk Indonesia.
"Awalnya timah batangan yang sudah ditransaksikan itu tertahan ekspornya karena dicurigai berasal dari bijih timah ilegal. Namun selama 9 bulan proses hukum, pengadilan memutuskan tidak terbukti. Rencana ekspor tertunda lagi karena syarat PE (Persetujuan Ekspor) dan ET (Eksportir Terdaftar) expired. Sampai sekarang belum ada solusi," ujar dia.
Fenny menuturkan saat ini Singapura diuntungkan dengan Country Risk Indonesia karena menjadi secondary market perdagangan timah. Negara yang sebelumnya membeli timah langsung di Indonesia juga semakin menurun jumlahnya.
"Sebelum perdagangan timah melalui bursa Indonesia, ekspor ke Singapura mencapai 80 persen sebelum 2014. Sejak via bursa dari 2014 sampai 2018 tinggal 24 persen. Di 2019 melonjak signifikan hingga 49,50 persen. Negara tujuan ekspor kini hanya tinggal 16 negara," ujar dia.
Menurut Fenny, kondisi pasar global memilih Singapura untuk bertransaksi timah seperti sebelum 2014 sangat merugikan karena kepercayaan dunia semakin terkikis dan membuat harga timah Indonesia kini anjlok hingga dibawah USD 16 ribu per Metric Ton.
"Begitu kasus yang terjadi di Oktober 2018 karena barang gagal ekspor, kepercayaan buyer yang semula sudah sangat baik dan membeli timah langsung dari Indonesia langsung buyar. Kini lebih memilih Singapura karena jaminan kepastian hukumnya dianggap lebih tinggi," ujar dia.
Fenny menambahkan pemerintah perlu turun langsung dan memberikan dukungan political will yang jelas sehingga kepercayaan dunia Internasional kembali lagi.
"Imbasnya juga terhadap program Pusat Logistik Berikat (PLB) Presiden Jokowi yang kurang berjalan maksimal. Padahal PLB sudah mengarah pada cermin kedaulatan Indonesia terhadap perdagangan timah dunia," ujar dia.