Ini bahayanya jika keran ekspor mineral dibuka lebar-lebar
JAKARTA, Pemerintah akan kembali melonggarkan kebijakan terkait ekspor bahan tambang mineral mentah. Hal tersebut dinilai akan membuat sumber daya alam Indonesia (SDA) jadi taruhannya.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, pembukaan keran ekspor di tengah penataan pertambangan yang sedang carut marut akan memicu terjadinya eksploitasi SDA secara besar-besaran. Selain itu mengakibatkan pembukaan lahan dan hutan yang masif, timbulnya pertambangan liar serta praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab.
"Akibatnya, kerusakan lingkungan semakin masif. Juga menimbulkan konflik dan kerugian sosial bagi masyarakat sekitar yang dalam jangka panjang sangat tidak efektif bagi pembangunan," ujarnya di Jakarta, Minggu (25/9/2016).
Menurutnya, tarik ulur kebijakan dan pembukaan keran ekspor konsentrat mineral merupakan bentuk inkonsistensi regulasi. Sehingga, berpotensi menciptakan ketidakadilan ekonomi, kecemburuan sosial dan ketidakpastian hukum atau peraturan bagi pelaku ekonomi.
"Putusan Mahkamah Konstitusi No 10/PUU-Xll/2014 memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan menyatakan bahwa semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat," kata dia.
Di sisi lain, defisit fiskal yang terjadi saat ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dan segenap elemen bangsa. Hal tersebut sebagai akibat dari ketergantungan APBN terhadap pendapatan dari penjualan langsung komoditas SDA. "Termasuk komoditas pertambangan mineral," ucapnya.
Sebelumnya, Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan mengaku akan kembali melonggarkan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah yang tercantum dalam UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Rencananya, ekspor mineral mentah akan kembali diizinkan untuk jangka waktu 3-5 tahun ke depan.
Dia mengatakan, relaksasi ekspor mineral mentah akan kembali dilakukan seiring direvisinya UU Minerba. Hal ini lantaran, hingga saat ini banyak perusahaan tambang yang belum dapat memenuhi kewajibannya untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
"Revisi UU Minerba itu kan inisiatif DPR. Kita hanya meng-exercise apa kita menemukan, ternyata pemerintah lalai juga, tidak maksud bicara yang lalu. Tapi kita ngoreksi diri saya, ada hal dalam UU yang belum kita laksanakan," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, belum lama ini.