Bisnis.com, JAKARTA - Meskipun belum bisa dikatakan sudah berlari kencang, pembangunan smelter masih lebih maju dari industri antara yang menyerap produk tambang hasil pemurnian.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan produk yang dihasilkan oleh smelter masih tergolong logam antara. Sebagian besar produk tersebut justru diekspor karena tidak terserap di dalam negeri.
Contohnya untuk komoditas nikel. Hasil permuniannya berupa feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI) masih diekspor. Begitu pula dengan katoda tembaga sebagai hasil pemurnian konsentrat tembaga sebagian besarnya juga masih diekspor.
Sementara itu, industri paling hilir, yang menghasilkan alat-alat berbasis logam yang siap pakai, masih harus mengimpor bahan bakunya, sehingga ada mata rantai yang hilang dalam penghiliran mineral tersebut.
"Ada missing link di penghiliran mineral ini. Produk dari smelter diekspor terus kalau sudah diolah lagi kita impor kembali," katanya saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, Senin (8/4/2019).
Dia menilai hal tersebut membuat peningkatan nilai tambah di dalam negeri masih belum optimal. Oleh karena itu, perlu ada dorongan bagi industri antara untuk memperbesar kapasitasnya.
Rizal menambahkan penghiliran mineral juga berperan penting untuk menunjang industri pertahanan dalam negeri. Menurutnya, Indonesia tidak boleh ketinggalan dengan negara lain.
Hingga awal tahun ini, sudah ada 25 smelter yang terbangun dengan didominasi oleh smelter nikel sebanyak 15 unit. Selain itu, masih ada 36 smelter yang tengah dibangun.