Insentif untuk Industri Harus Perhatikan Keberlangsungan Badan Usaha
JAKARTA – Pemerintah diminta tidak gegabah memberikan insentif bagi industri. Di tengah kondisi ekonomi saat ini, insentif jangan sampai mengorbankan badan usaha, sebab seluruh sektor harus bertahan mengahadapi pelemahan ekonomi yang diakibatkan wabah virus Corona atau Covid-19.
Herman Khaeron, Anggota Komisi VI DPR, mengatakan mewabahnya virus Corona di Indonesia telah berimbas ke seluruh sendi kehidupan, sehingga membawa pada pelemahan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Selain kehidupan sosial yang terdampak, sektor ekonomi juga sangat tertekan, ini ditunjukkan dengan nilai tukar rupiah yang melemah, daya beli masyarakat menurun, dan sektor industri terganggu.
“Situasi ini seolah-olah datang dengan begitu cepat dan mengancam terjadinya krisis yang lebih dalam,” kata Herman, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/4).
Dia menuturkan insentif dalam bentuk paket stimulus kebijakan ekonomi wajar diberikan sebagai bentuk kehadiran pemerintah. Hingga saat ini, total ada 19 paket stimulus dan kebijakan tambahan sektor industri yang telah dilaporkan ke Komisi VI DPR.
Herman mengingatkan pilihan stimulus tidak boleh mengorbankan sektor atau korporasi, apalagi korporasi milik negara. Jika badan usaha dikorbankan ujungnya akan memperluas dampak ekonomi karena keuangan perusahaan akan terganggu. “Memang menjadi pilihan pemerintah, mana yang akan menjadi prioritas dalam situasi krisis,” katanya.
Herman mencontohkan tentang insentif harga gas yang dijanjikan pemerintah, implementasinya harus hati-hati dieksekusi pada kondisi saat ini karena PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang tentu akan terdampak.
Selain itu, insentif listrik kepada masyarakat yang ditanggung oleh PLN. Kebijakan tersebut tentu bisa berdampak terhadap keuangan masing-masing badan usaha yang bertanggung jawab dalam pengelolaan gas dan listrik.
“Pilihan stimulus tidak boleh mengorbankan sektor atau korporasi lainnya, semisal pembelian gas dari PGN yang minta dipatok pada nilai tukar Rp 14.000 per dolar AS. Keringanan pembayaran atau subsidi listrik bagi industri terdampak dan penundaan pembayaran tarif PLN, ini akan mengganggu kinerja PGN dan PLN yang juga terdampak dengan situasi ini,” ungkap Herman.
Herman pun mendorong pemerintah untuk bisa menyiapkan langkah strategis lain selain menetapkan kebijakan insentif, yakni dengan cepat mengambil keputusan manajemen krisis dan mitigasi, sehingga bisa mengantisipasi potensi krisis yang bisa timbul lebih jauh.
“Kita juga belum tahu sampai kapan wabah Covid 19 dan dampaknya terhadap sektor ekonomi berakhir,” kata Herman.
Pemerintah sebenarnya menjanjikan ada kebijakan baru harga gas yang dimulai pada 1 April 2020. Namun hingga kini belum terealisasi. Beberapa skenario sempat dikaji untuk bisa menekan harga gas sehingga maksimal harga jualnya menjadi US$ 6 per MMBTU di konsumen akhir. Pemerintah akhirnya memilih skenario mengurangi bagian negara di sektor hulu. Selain itu, pemangkasan komponen biaya di midstream juga menjadi cara lain untuk menekan harga gas.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, sebelumnya mengatakan kebijakan penurunan harga gas sebagai salah satu stimulus ekonomi akan memberikan konsekuensi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Dengan skenario yang dipilih tersebut maka akan ada pengurangan subsidi energi, baik Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik.
“Subsidi di BBM, untuk listrik berarti juga akan ada pengurangan subsidi di bidang listrik. Ini semua perlu dilakukan subsequent yang sangat hati-hati,” kata Sri Mulyani.(RI)