JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mengkritik pemberian rekomendasi ekspor oleh Kementerian Engeri dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Cara itu bisa merusak harga pasar komoditas karena suplai dari Indonesia melimpah.
Jonatan Handjojo, Wakil Ketua AP3I, mencermati, harga nikel semakin ambruk. Selama Oktober 2016 hingga Juli 2017, harga nikel turun dari US$ 11.000 per ton menjadi US$ 8.000 per ton.
Akibatnya, 12 smelter berhenti operasi karena tak mau menanggung rugi produksi. Dua smelter di antaranya adalah milik PT Vale Indonesia Tbk dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk.
Belasan smelter itu belum termasuk 13 smelter yang pembangunanya sementara waktu dihentikan. Malah, ada smelter yang sudah pernah beroperasi lalu mandek karena menunggu harga nikel kembali ke kisaran level US$ 13,000 per ton.
AP3I juga menuding, rekomendasi ekspor Kementerian ESDM membikin citra Indonesia negatif di mata dunia. Pasalnya Indonesia mudah berganti regulasi. "Investor yang sudah terlanjur masuk seperti China marah-marah dan langsung membuat perhitungan, maka dijatuhkanlah harga nikel di bursa LME," ujar Jonatan, kepada KONTAN, Selasa (4/7).
Asal tahu, Senin, 3 Juli kemarin PT Dinamika Sejahtera Mandiri mendapatkan izin ekspor 2,7 juta ton bijih bauksit dari Kementerian ESDM. Sementara PT Ceria Nugraha Indotama mendekap izin ekspor 2,3 juta ton nikel kadar rendah. Kementerian ESDM memastikan, rekomendasi ekspornya sudah sesuai dengan permohonan perusahaan dan laporan pembangunan smelter.
Pasca memberikan rekomendasi, tim verifikator independen mengevaluasi pembangunan smelter Dinamika Sejahtera dan Ceria Nugraha dalam enam bulan. "Kalau tidak ada progress, ekspornya dicabut," kata Bambang Susigit, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM di Kantor Dirjen Minerba, Selasa (4/7).
Saat ini, Dinamika Sejahtera sedang membangun smelter berkapasitas 5 juta ton di Makassar, Sulawesi Selatan. Adapun proyek smelter Ceria Nugraha di Kalimantan Barat berkapasitas 7 juta ton.