Jadi Raja Baterai, Cadangan Nikel MIND ID Diklaim No.1 di RI!
Jakarta, CNBC Indonesia - Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertambangan Mining Industry Indonesia (MIND ID) atau Inalum optimis BUMN bisa menjalankan bisnis rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik, terlebih karena holding BUMN pertambangan ini telah menguasai 30% dari cadangan nikel nasional. Hal itu diungkapkan Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak dalam diskusi bersama wartawan pada Kamis (15/10/2020).
Dia menuturkan, cadangan nikel BUMN ini semakin meningkat dengan selesainya proses akuisisi saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) sebesar 20% oleh MIND ID pada pekan lalu (07/10/2020).
"Cadangan mineral nikel kita nomor 1 dengan masuknya Vale di MIND ID. Sebanyak 30% dari cadangan nikel Indonesia ada di bawah MIND ID, dari Aneka Tambang dan Vale," ungkapnya.
Dia mengatakan, bijih nikel kadar rendah (limonite nickel) dan kadar tinggi (saprolite nickel) tersedia di Indonesia, sehingga ini bisa dimanfaatkan untuk diproses menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Menurutnya, tren konsumsi nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik di dunia memang terus meningkat, bahkan bisa mencapai 600 ribu ton per tahun.
"Ada peluang untuk dimanfaatkan. Mumpung teknologi masih melihat nikel bisa menjadi bahan baku untuk baterai kendaraan listrik ke depannya," ujarnya.
Dia mengatakan, tak hanya untuk kendaraan listrik, baterai tersebut nantinya bisa juga digunakan untuk penyimpanan energi untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di pulau-pulau kecil maupun perumahan.
"Bukan saja untuk transportasi, tapi baterai bisa dimanfaatkan sebagai storage (penyimpanan) dikombinasikan dengan tenaga surya, nanti malam hari pakai baterai tapi kualitas harus baik, ini yang sedang disiapkan. Rencana besarnya, menghasilkan baterai bukan untuk kendaraan semata, tapi kebutuhan di perumahan," tuturnya.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2019 dengan status hingga Desember 2018, cadangan bijih nikel nasional mencapai 3,57 miliar ton terdiri dari cadangan terkira sebanyak 2,87 miliar ton dan 698 juta ton cadangan terbukti.
Sedangkan sumber daya nikel bahkan mencapai 9,31 miliar ton, terdiri dari sumber daya terukur 2,03 miliar ton, tertunjuk 2,68 miliar ton, tereka 4,29 miliar ton, dan hipotetik 294,9 juta ton.
Mulai awal 2020 ini pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel dengan maksud penambang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terlebih dahulu, sehingga nilai ekspor memiliki nilai tambah dan bernilai jual lebih tinggi. Selain itu, penghentian ekspor bijih nikel juga dengan tujuan agar Indonesia memiliki cadangan yang cukup untuk membangun industri baterai kendaraan listrik.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan mayoritas dari jumlah cadangan nikel yang mencapai 3,57 miliar ton tersebut merupakan bijih nikel berkadar rendah (limonite nickel). Nikel kadar rendah ini lah yang cocok diolah menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Perlu diketahui, saprolite nickel ini memiliki kandungan nikel tinggi yakni 1,5%-2,5%. Sementara limonite bisa lebih rendah dari 1,5%.
Sementara sejumlah smelter nikel di dalam negeri saat ini cenderung mengambil nikel kadar tinggi. Agar nikel kadar rendah ini tidak terbuang sia-sia, maka menurutnya perlu pengolahan lebih lanjut.
Untuk memanfaatkan nikel kadar rendah ini, maka kini beberapa perusahaan tengah mengembangkan proses hydro metalurgi atau dikenal dengan smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL). Pada akhirnya, produk dari smelter HPAL ini menurutnya bisa menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Seperti diketahui, tiga BUMN yakni PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) akan membentuk holding PT Indonesia Battery untuk menjalankan bisnis baterai terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Kementerian BUMN bahkan menyebut ada dua produsen baterai kelas dunia, yakni Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL) dari China dan LG Chem Ltd asal Korea Selatan yang akan berinvestasi dalam proyek baterai di RI bernilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 296 triliun (asumsi kurs Rp 14.800 per US$).