Jaga Produksi Nikel, RI Segera Terbitkan Harga Acuan Domestik
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sudah melarang ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020, sebagai upaya untuk mendorong hilirisasi. Plt Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan melalui hilirisasi manfaat besar akan didapatkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Dirinya menyebut kapasitas smelter Indonesia sudah cukup banyak, sehingga bisa menyerap banyak bijih nikel. Diperkirakan tahun ini kapasitasnya sudah bisa mencapai 23-24 juta ton per tahun. Investasi di sisi hilir diprediksi akan terus meningkat.
Di mana tahun 2014 investasi mencapai sekitar US$ 12-13 miliar, sepuluh tahun ke depan diperkirakan akan mecapai sekitar US$ 15-16 miliar. Dalam rangka mendorong hilirisasi pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, perlu keterlibatan para pengusaha nikel juga.
"Bagaimana strategi terkait peningkatan nilai tambah, kemarin kami dan Kementerian ESDM juga mengundang para pengusaha nikel," ungkapnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, para pengusaha nikel ini diundang untuk membicarakan soal mekanisme harga nikel domestik. Tujuannya untuk menyeimbangkan keuntungan di sektor penambang dan sektor smelter. Hal ini yang akan terus dibahas paska kebijakan pelarangan ekspor.
"Dari sisi pertambangan dapat harga baik, akan berkaitan dengan sutainability dari operasi penambangan dan umur cadangan," imbuhnya.
Dikhawatirkan jika harga nikel dalam negeri terlalu murah akan berdampak pada penyetopan produksi nikel oleh penambang. Sehingga tidak ada nikel yang diserap smelter. Dampaknya lebih jauh bisa mematikan smelter.
Pihaknya berjanji akan membuat harga formula yang mengikuti harga acuan internasional. Sehingga jika harga internasional naik, maka harga domestik akan ikut naik, begitu juga dengan sebaliknya.
"Di saat yang bersamaan perhatikan kepentingan smelter, kalau semua tutup supply susah. Aturan harga acuan akan berikan insentif yang baik bagi mereka," terangnya.