Jangan Beri Rekomendasi Ekspor Mineral Mentah Perusahaan yang Belum Punya Smelter
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah sebaiknya menghentikan rencana memberikan rekomendasi ekspor mineral mentah kepada perusahaan yang baru merencanakan pembangunan smelter.
Selain karena komitmen perusahaan dalam membangun smelter masih diragukan karena masih berada di tahap awal, inisiatif tersebut juga bertolak belakang dengan semangat hilirisasi yang mewajibkan semua mineral mentah tambang diolah dan dimurnikan di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan, PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral selama ini menikmati keistimewaan karena memperoleh rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM.
Janjinya kedua perusahaan tersebut untuk membangun smelter tidak kunjung terealisasi.
Freeport bahkan kembali diberi tengat waktu lima tahun hingga 2022 untuk membangun smelter.
Sementara itu, Amman Mineral hingga kini masih belum jelas akan bekerja sama dengan Freeport atau membangun sendiri smelter di Nusa Tenggara Barat.
"Jika dilihat sesungguhnya Pemerintah tidak akan mengambil langkah tegas apalagi Freeport masih melangsungkan negosiasi. Sementara Amman Mineral sampai sekarang pun belum jelas mau bangun atau tidak. Padahal, UU Minerba telah melarang ekspor mineral mentah dan konsentrat, dan kedua perusahaan diharapkan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian di Indonesia," kata Marwan, Rabu (13/9/2017).
Marwan pun meminta Pemerintah untuk merumuskan variabel penilaian kemajuan smelter yang jelas.
Oleh karena semangatnya adalah untuk terbangunnya smelter maka variabel penilaian dan evaluasi harus dirumuskan dengan transparan.
"Jangan sampai monitoring dan evaluasi hanya menutupi janji palsu, sehingga meski belum melakukan apa pun untuk membangun smelter, tetap saja rekomendasi ekspor diberikan dengan berbagai alasan," katanya.
Kesepakatan antara Freeport dan Pemerintah Indonesia pada dasarnya sudah diatur dalam Kontrak karya dan UU Minerba.
Tidak ada hal yang baru terkait divestasi dan pembangunan smelter.
Freeport pada dasarnya harus melaksanakan kewajiban divestasi 51 persen kepada Pemerintah Indonesia dan membangun smelter.
"Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak terlena dengan strategi perusahaan asing untuk mengulur-ulur waktu dan terus-menerus menekan pemerintah untuk melakukan negosiasi yang menguntungkan pihak asing," katanya.
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso mengatakan, pemerintah harus menerapkan pengawasan kemajuan seperti proposal yang diajukan oleh pemegang IUP dan Kontrak Karya.
Pengawasan tersebut benar-benar harus mencermati kemajuan pembangunan smelter, perhitungan sumberdaya dan cadangan sesuai dengan standar KCMI.
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI), Prof Irwandy Arif menegaskan, sebaiknya pemerintah tetap konsisten pada proses nilai tambah mineral Indonesia sesuai dengan amanat UU Minerba.
"Pemberian izin dan rekomendasi ekspor harus sesuai dengan peraturan yang berlaku," katanya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menjelaskan, realisasi pengapalan mineral mentah sejak keran ekspor dibuka pada awal 2017 masih jauh di bawah volume yang direkomendasikan pemerintah. Nikel
yang direkomendasikan 8,1 juta ton baru terealisasi sekitar 1,1 juta ton, dan bauksit di bawah 1 juta ton.
Dari lima perusahaan yang mendapatkan rekomendasi ekspor, baru dua perusahaan yang sudah mengekspor, yaitu PT Aneka Tambang dan PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara.
Kementerian ESDM mengatakan perusahaan-perusahaan yang sudah merealisasikan ekspor bijih nikel dan bauksit sudah memiliki smelter masing-masing, sedangkan perusahaan yang belum mendapatkan rekomendasi ekspor akan diberi kuota berdasarkan rencana pembangunan smelter.
Koordinasi Nasional Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah mengatakan, pihaknya pada dasarnya konsisten meminta pemerintah menghentikan pemberian relaksasi ekpor mineral mentah karena bertentangan dengan UU Minerba.
Kendati langkah tersebut merupakan insentif, pemerintah tetap saja melanggar UU Minerba.