Jangan Sejajarkan Negara Dengan Perusahaan Tambang
Tata kelola kekayaan alam di bumi Indonesia, khususnya mineral dan batu bara (minerba), selama ini tidak sesuai dengan semangat dasar konstitusi.
Akibatnya, dalam praktiknya, pengelolaan dan peruntukan kekayaan alam tersebut belum memberi kesejahteraan merata untuk rakyatnya.
Banyak sektor minerba dan tambang Indonesia yang vital dan strategis belum dikuasai dan dikelola secara baik oleh negara.
Walaupun regulasinya termuat dalam UU 4 /2009 tentang pertambangan Mineral dan Batu Bara, tetapi masih banyak persoalan yang terjadi dalam tata kelolanya.
"Yang paling mendasar adalah ia belum bisa memenuhi amanat pasal 33 UUD 1945," kata Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif, dalam diskusi Perubahan UU Minerba yang digelar Fraksi Partai Nasdem, di Senayan, Jakarta, kemarin.
Tidak hanya itu, sebagai sebuah negara berdaulat, Indonesia sangat rawan dan lemah kedudukannya terhadap perusahaan tambang multinasional dari negara lain. Setidaknya, ini yang terjadi pada pengelolaan tambang oleh PT. Freeport di Papua dan PT. Newmont di Nusa Tenggara Barat.
"Negara jangan disejajarkan dengan pelaku pertambangan, bukan kontrak langsung negara dengan perusahaan," ungkapnya, dikutip dari keterangan pers Fraksi Nasdem.
Negara yang setara dengan kontraktor tambang, dalam pandangannya, akan mendatangkan persoalan di kemudian hari. Contohnya terjadi dengan PT Freeport. Terkait perizinan atau IUP, negara bisa terseret dalam pengadilan (arbitrase).
Karena itu dia mengusulkan agar perubahan UU Minerba menampung perubahan, yaitu yang melakukan kontrak dengan perusahaan tambang adalah Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) Tambang, bukan negara.
"Sehingga tidak lagi ada yang namanya masalah divestasi, karena konsesi diberikan oleh BUMNK dan berkontrak langsung dengan perusahaan tambang," tutur Irwandy.