Kantor Staf Presiden (KSP) melalui surat resminya, yang terbit pada 20 September 2019, meminta pihak PT Weda Bay Nikel (WBN) dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), untuk tidak melanggar hak masyarakat adat Tobelo Dalam.
Lewat surat yang ditandatangani Deputi V Kepala Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani itu, juga meminta agar kedua perusahaan tersebut menghormati serta mematuhi Konvensi Internasional Labour Organization (ILO) 169 tentang Masyarakat Hukum Adat.
Surat KSP yang diterima Gatra.com, Jumat (18/10/2019) melalui pesan WhatsApp dari pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara (Malut) itu, karena AMAN pernah mengirim surat pengaduan pada 8 September 2019 ke pihak KSP terkait terancamnya ruang hidup suku Tobelo Dalam di wilayah Akejira, Halmahera Tengah (Halteng).
Ketua Biro Informasi dan Komunikasi Pengurus Wilayah AMAN Malut, Supriyadi Sawai, kepada Gatra.com di Ternate, mengatakan kasus tersebut juga sudah dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta KSP sendiri.
Menurut Supriyadi, langkah penyuratan AMAN ke KSP karena PT. IWIP diduga telah melanggar ketentuan hukum internasional atau ILO 169, deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang masyarakat adat, serta prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC) yang mengakui dan melingungi hak masyarakat adat.
"Karena tidak pernah ada proses FPIC yang dilakukan PT. IWIP dengan PT. WBN terhadap kegiatan di Akejira. Selain itu, riset PT. IWIP dan PT. WBN itu berbicara cagar budaya, bukan proteksi perlindungan hak suku Tobelo Dalam," tuturnya.
Olehnya itu, kata Supriyadi, AMAN Malut berharap KLHK mencabut izin pinjam pakai kawasan hutan yang diberikan ke dua perusahaan itu di lokasi Akejira.
"Akejira harus diselamatkan. Karena sumber mata air warga di sekitar wilayah tambang, hilirnya ada di Akejira. Termasuk beberapa desa lainnya di Halmahera Timur, Oba, Wasile serta Weda," tuturnya.
Dinas Kehutanan Provinsi Malut, kata dia, harus meninjau kembali izin pelepasan kawasan hutan yang diberikan ke PT. WBN dan PT. IWIP. "Dan harus mencabut izin itu. Kita semua tidak ingin ini terjadi seperti di Teluk Kao yang sumber airnya tercemar akibat limbah industri," ujarnya.
Selain itu, ia berharap pihak akademisi harus angkat suara terkait eksistensi suku Tobelo Dalam ini. Karena mereka adalah sumber penelitian.
"Harusnya (akademisi) bicara, agar mereka tetap dilindungi dan memastikan wilayah buruan mereka aman dari investasi. Karena komunitas yang ada di Akejira ini menolak perusaahan masuk," tuturnya.
Menanggapi hal itu, Departemen Media dan Komunikasi PT. IWIP, Agnes Ide Megawati, mengatakan PT. IWIP sudah mengirim surat balasan berupa klarifikasi terhadap KSP.
"Karena surat tersebut ditujukan ke KSP, jadi akan lebih baik kalau rekan media mendapatkan sumber dari KSP," saran Agnes kepada Gatra.com.
Agnes menegaskan, PT. IWIP dan PT. WBN sudah menunjukan komitmen dan menjalin hubungan baik dengan anggota masyarakat adat Tobelo Dalam.
Tak lupa ia melampirkan sebuah foto terbaru dari staf perusahaan, yang disebut selama ini menjalin komunikasi dengan masyarakat adat Tobelo Dalam.
"Itu dua orang staf kami secara rutin menjenguk Bokum, anggota masyarakat Tobelo Dalam yang saat ini dipenjara," ujarnya menerangkan isi foto tersebut.
Dalam lanscap foto yang disertai watemark bertuliskan WPS.COM itu, terdapat dua pria berkaos hitam dan biru. Keduanya duduk mengapit salah seorang tokoh masyarakat Tobelo Dalam yang diduga bernama Bokum.
Dua bulan lalu, kata Agnes, staf perusahaan dan pengacara yang dipercayakan perusahaan untuk memberi bantuan hukum terhadap Bokum, juga melakukan kunjungan (ke penjara).
"Menurut keterangan Bokum, hanya pihak dari perusahaan kami (PT. IWIP) yang rutin melakukan kunjungan," akunya.