a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Kapasitas Smelter Bakal Naik

Kapasitas Smelter Bakal Naik
JAKARTA — Pemerintah meyakini ekspor bijih nikel dan bauksit dengan persyaratan menyuplai minimal 30% untuk smelter bakal mendorong pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian kedua komoditas mineral itu di Tanah Air.

Pemerintah membuka kembali pengapalan bijih nikel dan bauksit ke luar negeri setelah keran ekspor kedua mineral itu ditutup selama tiga tahun yaitu sejak awal 2014.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri yang diterbitkan pada 11 Januari 2017.

Dalam beleid tersebut, ekspor bauksit dan nikel dengan kadar rendah diperbolehkan dengan berbagai persyaratan. Nikel yang boleh diekspor hanya yang berkadar kurang dari 1,7% dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari atau sama dengan 42% digolongkan dalam mineral logam dengan kriteria khusus.

Pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi nikel wajib memanfaatkan nikel kadar rendah tersebut minimal 30% dari total kapasitas input smelter yang dimiliki. Setelah terpenuhi, pemegang IUP bisa melakukan ekspor bijih nikel kadar rendah tersebut dalam jumlah tertentu selama lima tahun.

Sementara itu, pemegang IUP operasi produksi bauksit yang telah melakukan pencucian dan telah atau sedang membangun smelter pun bisa mengekspor komoditasnya maksimal lima tahun sejak peraturan itu terbit. Baik nikel maupun bauksit akan dikenakan bea keluar apabila diekspor.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Igansius Jonan menegaskan, pemerintah akan tegas untuk tidak memberikan rekomendasi ekspor nikel dan bauksit jika perusahaan tidak memenuhi persyaratan tersebut.

“Kami akan evaluasi terus setiap enam bulan. Jika tidak ada progress pembangunan smelter, tidak akan ada rekomendasi ekspor,” katanya, Sabtu (14/1).

Saat ini, sudah ada 12 smelter nikel yang beroperasi. Dalam dua hingga tiga tahun mendatang, rencananya akan ada tambahan 10 smelter lagi.

Sementara itu, kapasitas 12 smelter nikel itu sekitar 17 juta ton per tahun yang terdiri dari 10 juta ton nikel berkadar di bawah 1,7%.

Untuk bauksit, saat ini sudah ada dua smelter yang beroperasi dengan kapasitas input 2 juta ton. Salah satu perusahaan yang sudah membangun smelter bauksit adalah PT Well Harvest Winning Alumina Refinery.

Jonan memaparkan, tanpa adanya regulasi tersebut, percepatan penambahan kapasitas smelter dalam negeri, khususnya untuk nikel dan bauksit, tidak akan terwujud. Padahal, kapasitas produksi bijih dalam negeri masih jauh di atas input smelter. "Smelter kami dorong untuk ekspansi kapasitas supaya bisa nyerap ore di dalam negeri," katanya.

Dia menjelaskan, apabila kapasitas smelter dalam negeri terus meningkat, dengan sendirinya tidak akan ada lagi perusahaan tambang yang ingin mengekspor komoditas mineral logamnya dalam bentuk bijih. Pasalnya, dimungkinkan adanya peningkatan nilai tambah terlebih dahulu di dalam negeri.

Jonan menambahkan, kebijakan tersebut sudah sesuai dengan semangat UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Indonesia didorong menjadi negara industri yang mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tambang melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian.

Kendati keran ekspor nikel dan bauksit terbuka, Kementerian ESDM tetap akan mengatur kuota penjualan masing-masing komoditas tersebut. Jumlahnya akan disesuaikan dengan berapa banyak bijih nikel kadar rendah dan bauksit yang diserap oleh smelter di dalam negeri.

"Misalkan dia nyerap buat smelter-nya cuma 100.000 ton maka tidak mungkin kita kasih rekomendasi kuota ekspor sampai 1 juta ton. Nanti akan dievaluasi dan disesuaikan," ujarnya.

Jonan memaparkan, selama ini bijih nikel kadar rendah memang tidak termanfaatkan di dalam negeri. Masalahnya adalah faktor harga yang sangat rendah.

Namun, kebijakan tersebut menuai penolakan dari sejumlah pihak. Pakar hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanagara Ahmad Redi mengatakan, keran ekspor nikel dan bauksit yang tertutup sejak 2014 tersebut seharusnya tidak dibuka. Pelarangan ekspor mineral mentah itu pun telah dikuatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. "Jadi, Permen ESDM No. 5/2017 ini melanggar konstitusi. Kami minta peraturan ini dibatalkan," ujarnya.

Ahmad Redi pun siap melayangkan gugatan uji materi pada pekan ini.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk. Nico Kanter, perusahaan tambang nikel, menilai bahwa sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel, beberapa smelter telah berproduksi dan beberapa unit lainnya dalam jumlah lebih banyak sedang dibangun di Indonesia.

Sebagian besar smelter nikel akan menghasilkan produk nickel pig iron (NPI) dan berkompetisi dengan produsen NPI maupun ferronikel di luar Indonesia, terutama di China.

Hal tersebut diatas ditunjang dengan kajian global yang dilakukan oleh analis independen Wood Mackenzie dalam laporan outlook mereka Desember 2016 yang menyatakan, dari sudut pandang kapasitas produksi smelter, posisi Indonesia telah meningkat dari peringkat empat di dunia pada 2015 menjadi peringkat tiga pada 2016. Bahkan, dengan laju pembangunan smelter seperti saat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai tingkat pertama di dunia pada 2017.

Menurutnya, dibukanya keran ekspor bijih nikel berkadar rendah dapat berdampak negatif terhadap industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia.

Nico menambahkan, setelah terbitnya peraturan itu, harga nikel sudah langsung turun dimana penurunan harga nikel ini diperkirakan akan berkepanjangan dan akan berdampak langsung pada pendapatan perusahaan smelter di Tanah Air.

Selain itu, kewajiban menyerap bijih dengan kadar rendah akan meningkatkan unit biaya produksi smelter yang mengakibatkan operasional smelter menjadi kurang kompetitif.

Dia juga menggarisbawahi kendala lain yang mungkin terjadi dari sisi pengawasan dan penegakan hukum yang dapat menjadi celah bahwa, pada prakteknya, ekspor tidak hanya terbatas pada jumlah tertentu dan bijih nikel kadar rendah saja. Jika hal ini terjadi maka dapat dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan dan berdampak pada penurunan harga nikel yang signifikan.

“Investasi smelter membutuhkan modal yang sangat besar dan tingkat kepercayaan yang tinggi. Tanpa konsistensi kebijakan, dukungan fasilitas dan juga kondisi harga mineral yang baik, akan sulit sekali untuk berinvestasi,” katanya.