Karut-marut Kebijakan Nikel yang Konsisten untuk Inkonsistensi
MerahPutih.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri pemberian penghargaan Indonesia Mining Association (IMA), Rabu 20 November 2019 menyatakan dirinya optimis permasalahan defisit neraca perdagangan akan selesai dalam 3 tahun, jika hilirisasi mineral khususnya nikel berjalan. Sebuah pernyataan yang menantang dicermati sejalan dengan fenomena carut marut kebijakan nikel belakangan ini.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah melalui Kementerian ESDM pada tanggal 30 April 2018 mengeluarkan Permen ESDM Nomor 25/2018 yang diantaranya mengatur ekspor nikel ore kadar 1.7% kebawah. Kebijakan ini ditempuh untuk mendorong para penambang membangun smelter yang biayanya sangat mahal dengan batas waktu sampai dengan 11 Januari 2022.
Penambang meyakini kebijakan ini sebagai jalan tengah yang komprehensif agar kehendak UU Nomor 4/2009 tentang Minerba dapat dilaksanakan.
Akan tetapi, dengan pertimbangan cadangan nikel yang hanya tinggal 7-8 tahun (Dirjen Energi dan Sumber Daya Mineral tanggal 2 September 2019), pada tanggal 30 Agustus Pemerintah melalui Kementrian ESDM menerbitkan Permen ESDM Nomor 11/2019 sebagai perubahan Permen ESDM Nomor 25/2018 yang bertujuan mempersingkat waktu ekspor menjadi tanggal 31 Desember 2019.
Percepatan ini kontan membuat gaduh pernikelan nasional. Namun, yang membuat lebih gaduh dan memicu ketidak pastian dikalangan penambang nikel yang notabene pengusaha yang sedang membangun smelter adalah keputusan dan pernyataan Kepala BKPM yang mengeluarkan larangan ekspor nikel ore 1.7% mulai tanggal 29 Oktober 2019 secara lisan serta tanpa disertai pertimbangan dan alasan yang dapat dipahami.
Pernyataan ini sendiri adalah keputusan diskusi antara Kepala BKPM, Bahlil dengan pengusaha nikel pada tanggal 28 Oktober 2019. Benarkah mereka mewakili penambang nikel?.
Kalau melihat hiruk pikuk Sekjen Asosisiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy diberbagai media, tersirat bahwa mereka tidak mewakili penambang nikel.
Keputusan tersebut diperkirakan terkait dengan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi, LB Panjaitan yang mengatakan telah terjadi peningkatan signifikan pengapalan nikel ore yang semula pada kisaran 20 kapal/bulan menjadi 100 – 130 kapal/bulan, negara dirugikan sangat besar.
Sayang, tidak dijelaskan mulai kapan peningkatan tersebut terjadi dan apa hubungannya dengan Permen ESDM nomor 11/2109. Yang pasti bertentangan dan menabraknya.
Tidak tanggung-tanggung dalam pernyataan lisan tersebut, juga diperintahkan jajaran terkait untuk tidak menerbitkan izin dan pelayanan ekspor kepada kapal yang sudah tiba maupun sedang dalam proses pemuatan. Tindakan yang sangat merugikan penambang.
Bukankah langkah dan tindakan ini terkatagori abuse of power?. Apapun argumentasinya, dipastikan penambang sulit memahami, karena terkait dengan perhitungan finansial, kepercayaan, dan penyelelesaian smelter yang sedang dalam proses.
Akan tetapi, para Penambang juga berusaha untuk dapat memahami apalagi demi kepentingan mobil listrik yang gencar dipromosikan LB Panjaitan. Tentu, sepanjang pemerintah menerbitkan Tata Niaga Nikel yang transparent, accountable dan applicable.
Pasca keluarnya larangan ekspor per 29 Oktober 2019, tidak hanya kalangan penambang yang tergabung dalam APNI, ketidak pastian sesungguhnya juga muncul di antara stake holder ekspor nikel ore dalam pemerintahan.
Terkait Tata Niaga Nikel, harga Ni kadar 1.7% , harga yang dikehendaki APNI adalah Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan harga internasional. Tuntutan APNI ini bukan tidak berdasar, tetapi dihitung dari beban penambang untuk seluruh beaya produksi ditambah biaya angkut, pajak-pajak dan royalty kepada pemerintah sebesar 5%.
Inkonsistensi justru datang dari pemilik smelter yang berkewajiban menyerap nikel berkadar Ni 1.7%. Mereka hanya mau membeli dengan harga US$ 15 dan tidak mempedulikan HPM. Dalam kondisi tertentu mereka bahkan tidak mau membelinya. Sebuah situasi yang sangat sulit dihadapi para penambang.
Hal penting lain terkait Tata Niaga Nikel yang dikeluhkan penambang adalah surveyor. Pemerintah telah menunjuk lima surveyor yaitu Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya.
Realitanya, kelima surveyor ini hanya digunakan oleh penambang, sebaliknya pemilik smelter hanya menggunakan surveyor yang mereka kontrak sendiri. Dalam Tata Niaga yang tidak mengikat para pihak seperti ini, yang dirugikan pasti para penambang. Akibatnya yang ditimbulkan adalah reject terhadap nikel ore yang siap dibeli.
Dalam situasi ini, hanya ada dua pilihan bagi penambang, menerima atau memberikan nikel ore cuma-cuma. Menerima, karena kalau tidak penambang harus mengeluarkan beaya operasi dan beaya pengiriman baru. Sebaliknya apabila menolak pasti akan memberikan ore cuma-cuma kepada pemilik smelter.
Apabila fenomena kisruh kebijakan nikel ini benar, inkonsistensi terhadap kebijakan Pemerintah terus terjadi. Suka tidak suka, Pemerintah harus berdiri di tengah, bijaksana dan adil. Rencana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan melakukan investigasi merupakan langkah tepat dan bagus.
Namun, hasil dan keputusan KPPU pasca investigasi harus dipatuhi semua pihak dan dijadikan bahan oleh Pemerintah untuk menyusun Tata Niaga Nikel yang transparent, accountable dan applicable. Kalau tidak isu kartel akan menguat.
Disamping penerbitan Tata Niaga Nikel, Pemerintah harus dapat menjadikan Tata Niaga Nikel sebagai instrument pemaksa yang memungkinkan hilirisasi nikel terwujud. Untuk itu Pemerintah harus mampu melakukan pengawasan dan pengendalian secara serius dengan integritas tinggi.
Semua pihak hendaknya memahami bahwa optimisme Presiden Jokowi untuk hilirisasi merupakan optimisme terhadap obsesi dan cita-cita bersama.
Adalah sangat luhur apabila Indonesia terbebas dari ekspor mineral termasuk nikel dan hukum rimba pernikelan Indonesia dapat dihilangkan.
Komitmen para pendahulu bangsa sebagaimana Pasal 33 UUD 1945 hanya dapat diwujudkan apabila semua stake holder menjauhi sikap inkonsistensi karena kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan, sebaliknya konsisten untuk mewujudkan adil yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan di tengah defisit neraca perdagangan dan hutang negara yang semakin membengkak. (*)