Kegiatan Pertambangan Dinilai Butuh Kepastian Regulasi
Jakarta - Ketidakpastian hukum di Indonesia berimbas pada kegiatan pertambangan di Indonesia. Tercatat, 17 fasilitas pemurnian (smelter) nikel berhenti operasi pada semester kedua tahun ini akibat melemahnya harga komoditas.
Terpuruknya harga itu akibat kebijakan pemerintah yang membuka kembali keran ekspor bijih nikel kadar rendah sejak awal 2017. Kebijakan tersebut membuat ketersediaan nikel di pasar dunia melimpah sehingga harga pun melemah.
Sebenarnya, ekspor bijih mineral mentah (ore) dilarang pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono semenjak 11 Januari 2014. Sebanyak 32 smelter mulai digarap oleh investor semenjak kebijakan larangan ekspor bijih mineral atau mineral mentah pada 2014 silam.
Tercatat, total investasi mencapai US$ 20 miliar untuk pembangunan 32 smelter yang tersebar di Indonesia itu. Mayoritas smelter yang dibangun merupakan nikel dan sisanya antara lain besi, zirkon dan mangan.
Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) bergerak menemui pemerintah meminta ekspor ore dianulir. Pada Mei lalu, AP3I bertemu dengan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar. Namun tidak membuahkan hasil apapun.
Kemarin, AP3I menemui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong. Ada titik cerah dari pertemuan itu, Thomas memahami kondisi yang dihadapi pelaku usaha.
AP3I kemudian diminta membuat surat resmi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isi surat itu meminta Kepala Negara merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 6 Tahun 2017 yang antara lain berisi izin ekspor bijih nikel kadar rendah selama lima tahun bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanagara (Untar), Ahmad Redi, mengatakan, Permen ESDM Nomor 6/2017 itu bertentangan dengan Undang-undang (UU) Minerba dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017. Kedua beleid, menyatakan perusahaan tambang yang telah mengolah dan memurnikan mineral diizinkan ekspor dalam jumlah tertentu.
"Jadi Permen ESDM 6/2017 itu tidak senafas dengan peraturan yang lebih tinggi," kata Redi di Jakarta, Kamis (13/7).
Redi menuturkan, pengolahan mineral berarti sudah ada upaya meningkatkan mutu mineral yang menghasilkan sifat fisik dan kimia. Sedangkan bijih nikel kadar rendah yang diizinkan ekspor belum melalui proses pengolahan alias mineral mentah. Dia bilang, Kementerian ESDM salah menginterpretasikan amanat pengolahan dan pemurnian mineral yang diatur dalam UU Minerba dan PP 1/2017.
Permen ESDM 6/2017 pun digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipili. Redi yang jadi juru bicara Koalisi menuturkan, gugatan tersebut sudah diajukan ke Mahkamah Agung (MA). "Gugatan masih dalam proses pemeriksaan," ujarnya.