Sementara itu, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenpern) I Gusti Putu Suryawiryawan mengatakan, meski ada relaksasi, ekspor tidak benar-benar dibebaskan.
Ekspor hanya bisa dilakukan dalam jumlah tertentu dan perusahaan tertentu. Kementerian ESDM dan Kemenperin akan membentuk tim koordinasi untuk mengawasi ekspor.
“Tetap dikendalikan, jenis bijihnya juga ditentukan, sehingga tetap dalam pengawasan agar investasi sektor ini tetap menarik,” kata Putu.
Menurut dia, sejak pelarangan ekspor mineral mentah, di sektor pengusaha nikel asal Tiongkok berbondong-bondong investasi di Indonesia. Berdasarkan catatan Kemenperin, investasi untuk smelter mencapai US$ 18 miliar sejak 2013. “Sepertiga pemain stainless steel dari Tiongkok datang ke Indonesia. Dia terpaksa, karena tidak ada suplai bahan baku,” kata Putu.
Dia menekankan, dibutuhkan pengawasan terhadap ekspor nikel agar industri dalam negeri tidak kekurangan bahan baku. Selain itu, pengawasan diperlukan utuk kelangsungan investasi dan meyakinkan pemegang saham untuk tetap investasi di indoesia.
Selain itu, kata Putu, bijih nikel merupakan barang tambang tidak terbarukan dan sebagian besar ada di Indonesia. Akibatnya, harga dunia akan dipengaruhi sikap Indonesia terhadap konsistensi pelarangan. Dengan demikian, ketika diputuskan dibuka keran ekspor nikel, harga langsung turun.
“Saat harga turun, semua perhitungan investasi berubah. Prinsipnya, investasi di sektor ini jangka panjang, yakni 10-15 tahun, dengan perkiraaan harga. Dengan harga yang merosot, pinjaman ke bank akan dihitung lagi. Ini yang menyebabkan ketidakpastian,” kata Putu