Kisah Luhut & Smelter China di Balik Larangan Ekspor Nikel
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu pelarangan ekspor bijih nikel membuat gempar sektor pertambangan dalam 2 pekan terakhir. Kebijakan yang semula akan pada 2022, tiba-tiba dipercepat dan direncanakan berlaku pada Oktober mendatang.
Kabar percepatan larangan ini datang pertama kali dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan pada 12 Agustus 2019. Alasannya, ia yakin stok nikel dari larangan ekspor masih bisa diserap dalam negeri oleh smelter (pabrik pemurnian) yang kini beroperasi.
Ia menegaskan tujuan utama pelarangan ekspor adalah untuk menggenjot hilirisasi. Luhut memberi contoh bijih nikel seharga US$ 36 bisa naik nilainya menjadi US$ 100 jika ditingkatkan menjadi feronikel dan metal untuk jadi bahan stainless steel.
Luhut, Lobi Pengusaha Smelter China, dan Larangan Ekspor NikeFoto: Menko Maritim Luhut Pandjaitan (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
Sejak saat itu, kontroversi pelarangan ekspor bijih nikel itu pun bergulir sampai saat ini. Kebijakan tersebut dinilai untuk mendorong hilirisasi mineral dalam negeri. Apalagi larangan ekspor mineral mentah juga telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memiliki pandangan tersendiri soal kebijakan ini. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot malah menekankan kebijakannya belum ada perubahan. Artinya larangan ekspor bijih nikel baru berlaku pada 2022 mendatang.
Menteri ESDM Ignasius Jonan sendiri menyerahkan kebijakan ini ke tangan Presiden Jokowi. "Presiden masih sedang mempertimbangkan, mau hilirisasi [nikel] ini dipercepat atau tidak," kata Jonan kepada CNBC Indonesia di Tembagapura, Minggu (18/8).
Jonan menegaskan soal kemungkinan bisa atau tidak adanya percepatan larangan ekspor bijih nikel, ia mempersilakan tanya ke Presiden Jokowi langsung. Namun, ia menegaskan saat ini ketentuan ekspor bijih nikel belum ada perubahan.
"Ini kan masih didiskusi, ikuti peraturan yang sudah ada saja. Saya enggak tahu silakan tanyakan ke Presiden,"katanya.
Tapi lagi-lagi, Menteri Luhut yang paling menggebu-gebu soal larangan ekspor nikel ini. "Tunggu aja ya kapan diumumkan. Intinya itu kira akan hilirisasi semua. Kita akan percepat," kata Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/8/2019).
Belakangan, beredar kabar kalau ada lobi dari smelter China di balik percepatan pelarangan ini. Informasi yang diterima CNBC Indonesia, gagasan melarang ekspor bijih nikel ini muncul usai ada pertemuan antara para investor smelter China dengan Presiden Joko Widodo pada Juli lalu.
"Mereka bertemu saat ada HUT Bhayangkara, berarti Juli ya. Dari situ langsung dalam dua pekan semuanya digodok," kata sumber CNBC Indonesia yang intens dalam bisnis nikel, akhir pekan lalu.
Meski tidak mengetahui pasti apa yang diperbincangkan para pengusaha raksasa di bidang smelter tersebut, namun diketahui salah satunya membahas upaya percepatan hilirisasi. Apalagi dengan program mobil listrik yang siap dikebut, momennya pun semakin jadi.
Saat ini, memang beberapa smelter China sudah beroperasi di Indonesia, di antaranya adalah smelter nikel yang beroperasi di Konawe dan Morowali.
Namun, Luhut pun memastikan tak ada upaya lobi tersebut. "Tidak juga, ini sudah lama saya sampaikan ke Presiden," kata Luhut.
Ia menjelaskan, saat ini misalnya India sudah datang mendekati Indonesia untuk investasi bangun smelter US$ 1 miliar karena kebetulan memiliki konsesi nikel.
"Tapi satu syarat, kalian harus banned. Karena kalau tidak di-banned (dilarang ekspor), ngapain bikin pabrik di sini. Bikin saja di India, bikin saja di China."
Bernada agak tinggi, Luhut bahkan menegaskan tak ada urusan lobi-lobi tersebut. "Ini urusan logika saja," kata dia.
Memamerkan sederet angka, ia mengatakan bahwa dengan ekspor nikel RI cuma dapat US$ 600 juta sampai US$ 700 juta. Sementara jika ada nilai lebih, tahun lalu misalnya bisa ekspor stainless steel mencapai US$ 5,8 miliar setahun. Tahun ini bahkan bisa mencapai US$ 7,5 miliar dan tahun depan bisa US$ 12 miliar atau setara dengan Rp 169,2 triliun (asumsi kurs Rp 14.100/US$).
"Akan terus bertambah sejalan dengan investasi, sekarang pilih mana? Ini generasi kalian loh. Jadi jangan asal ngomong lobi-lobi, gak ada urusan! Datang ke saya siapa yang ngomong gitu?" tegasnya.