a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Kisruh Harga Nikel, Pemerintah Ancam Cabut Izin Usaha Smelter

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah mengatur bahwa Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan setiap bulan menjadi acuan harga penjualan bagi penambang nikel untuk menjual bijih nikelnya ke perusahaan pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri.

Namun sayangnya, menurut penambang, aturan tersebut belum dijalankan sepenuhnya oleh para pemilik smelter. Hingga saat ini penambang masih menerima harga jual bahkan separuh lebih rendah dibandingkan HPM yang ditetapkan pemerintah.

Menanggapi polemik di antara penambang bijih nikel dan pemilik smelter, pemerintah menuturkan akan menindak tegas bagi para pihak yang tidak mengikuti aturan terkait HPM ini. Tak tanggung-tanggung, pemerintah akan mencabut fasilitas fiskal hingga pencabutan izin usaha kepada pihak yang melanggar aturan ini.



Hal ini disampaikan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/09/2020).

Irwandy mengatakan pemerintah melalui Satgas HPM Nikel telah membahas ini, termasuk dengan pengusaha smelter. Keputusannya, semua perusahaan, baik perusahaan smelter maupun penambang, harus patuh pada HPM yang ditentukan pemerintah.

"Semua departemen (kementerian) sepakat dan apabila ada yang tidak patuh terhadap hal ini, masih melakukan praktek-praktek pembelian ke penambang misalnya dengan harga yang sangat rendah, bahkan malah tidak sampai cash cost (biaya produksi), maka tentunya pemerintah akan mengambil tindakan sesuai hukum dan ketentuan yang berlaku," tutur Irwandy kepada CNBC Indonesia.

Menurutnya tindakan tegas yang akan dilakukan pemerintah ini bukan lah bermaksud menghukum, tapi lebih ditujukan untuk membina dan mengawasi supaya perusahaan-perusahaan taat pada aturan.

Namun pemerintah masih membuka kesempatan kepada para pihak untuk memperbaiki harga di dalam kontrak jual beli bijih nikel hingga 1 Oktober mendatang.

"Kalau mereka tetap ngotot, memang ada ketentuan bahwa semua fasilitas fiskal yang sudah diberikan pemerintah sampai pada pencabutan izin usaha, ini bisa saja dilakukan, tapi tim berpendapat bahwa kita mencegah dan berusaha mengimbau dari sekarang sampai 1 Oktober supaya mereka memperbaiki kontrak-kontrak yang ada tentang harga tersebut. Itu kemajuan kita," jelasnya.

Setelah hal ini dikomunikasikan dengan para pengusaha smelter, menurutnya hampir semua perusahaan smelter menyatakan akan patuh kepada keputusan pemerintah tersebut.

"Progress-nya cukup positif yang tadinya memang ada beberapa yang belum patuh, belum menyatakan patuh secara lisan, tapi tadi siang hampir semua grup smelter menyatakan mereka akan patuh kepada keputusan pemerintah," ungkapnya.

Dengan adanya kesepakatan bersama ini, maka pihaknya mengharapkan agar industri pertambangan dan juga smelter bisa sama-sama berkembang ke depannya.

"Dan mudah-mudahan dengan kontrol pemerintah, baik di dalam kontrak dan pelaksanaannya tetap harus ketat dan harus baik dan adil, sehingga industri kita berkembang bukan hanya di pertambangan, tapi juga di smelter sesuai program prioritas smelter yang dicanangkan di Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian," tuturnya.

Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan harga bijih nikel berdasarkan transaksi aktual antara penambang dan pembeli hingga saat ini masih berada di bawah Harga Patokan Mineral (HPM) yang telah ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral setiap bulannya.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan hal ini tidak sejalan dengan aturan pemerintah di mana HPM harus menjadi patokan harga jual beli domestik. Seperti diketahui, pada 14 April 2020 telah diundangkan Peraturan Menteri ESDM No.11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu bara.

Regulasi ini menyebutkan bahwa HPM logam merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. HPM logam ini juga menjadi acuan harga penjualan bagi pemegang IUP dan IUPK untuk penjualan bijih nikel. Namun apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam tersebut, maka penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3% dari HPM tersebut.

Berdasarkan informasi yang CNBC Indonesia peroleh, kontrak nikel setelah dibentuknya Satgas HPM yaitu kontrak dengan kadar nikel 1,9% dan 2%. Harga dalam kontrak tersebut sudah sesuai dengan HPM namun dengan sejumlah syarat.

Persyaratan tersebut antara lain adanya penalti kadar nikel, yakni bila kadar nikel yang diterima smelter lebih rendah 0,1% dari kadar yang tertulis dalam kontrak, maka harga akan turun sebesar US$ 7. Begitu juga dengan kandungan air (Moisture Content/ MC) yakni bila MC lebih dari 30%, maka akan dikenakan denda sebesar US% 5 per wet metric ton (wmt).

Dengan demikian, bila awalnya harga terkontrak sebesar US$ 37 per wmt, maka harga aktual yang diterima penambang bisa hanya separuhnya yakni sekitar US$ 15 per wmt.