Kisruh Nikel, Pihak Smelter Diminta Serap Nikel Kadar Rendah
Jakarta, CNBC Indonesia - Selain mengeluhkan tentang harga nikel yang masih di bawah Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan pemerintah, para penambang nikel juga mengeluhkan pihak smelter yang hanya mau menyerap bijih nikel kadar tinggi di atas 1,8%, tepatnya 1,9% dan 2%.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengakui memang sudah seharusnya ada peraturan dari pemerintah terkait kadar nikel yang digunakan perusahaan smelter di dalam negeri.
Apalagi, lanjutnya, cadangan bijih nikel kadar tinggi (saprolite nickel) hanya sekitar 930 juta ton, seperempat dari bijih nikel kadar rendah (limonite nickel) yang mencapai 3,6 miliar ton. Dengan demikian, perlu diatur sedemikian rupa agar cadangan bijih nikel kadar tinggi ini tidak cepat habis.
Perlu diketahui, saprolite nickel ini memiliki kandungan nikel tinggi yakni 1,5%-2,5%. Sementara limonite bisa lebih rendah dari 1,5%.
"Persoalannya sekarang, harus ada kebijakan dari pemerintah, harus memberikan batasan-batasan supaya jangan sampai smelter sekarang hanya membeli nikel kadar tinggi," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/09/2020).
Salah satu upaya yang bisa dilakukan yaitu dengan pengaturan pencampuran (blending), sehingga perusahaan smelter tidak hanya membeli nikel berkadar tinggi, tapi juga berkadar rendah. Namun ini juga harus diawasi oleh pemerintah.
"Misalnya kebijakan bagaimana melakukan blending atau percampuran, bagaimana di dalam kontraknya mereka juga dapatkan pengawasan dari pemerintah, sehingga dapat perimbangan dari penggunaan bijih nikel kadar tinggi atau rendah," tuturnya.
Untuk memanfaatkan nikel kadar rendah ini, maka kini beberapa perusahaan tengah mengembangkan proses hydro metalurgi atau dikenal dengan smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL). Pada akhirnya, ini bisa menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
"Kita harapkan ini bisa berkembang dengan baik, sehingga konsumsi nikel kadar rendah bisa bertambah dan mengimbangi konsumsi dari pabrik yang memakai nikel kadar tinggi," ujarnya.
Salah satu perusahaan yang berencana membangun smelter HPAL yaitu PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Vale berencana membangun smelter HPAL di Pomalaa, Sulawesi Tenggara dengan calon mitra asal Jepang yaitu Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SMM).
Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyampaikan adanya keluhan dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) bahwa perusahaan smelter hanya mau menyerap nikel kadar tinggi. Untuk itu, pihak Komisi VII DPR RI juga mendesak pemerintah agar seluruh pihak mematuhi peraturan yang ada, termasuk menyerap bijih nikel kadar di bawah 1,7%.
"Intinya adalah Panja Minerba meminta atau mendesak pemerintah agar seluruh pihak mematuhi peraturan-peraturan yang sudah digariskan, misalnya ada sebuah peraturan bahwa smelter berkewajiban menyerap bijih nikel di bawah 1,7%," jelasnya.
Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, pihak smelter akan memberikan penalti kepada penambang bila memberikan nikel di bawah kadar yang ditentukan dalam kontrak. Bila kadar nikel lebih rendah 0,1% dari kadar yang tertuang di dalam kontrak, maka harga nikel akan dipotong sekitar US$ 7 per wet metric ton (wmt)
Kontrak nikel setelah dibentuknya Satgas HPM yaitu kontrak dengan kadar nikel 1,9% dan 2%. Harga dalam kontrak tersebut sudah sesuai dengan HPM namun dengan sejumlah syarat.
Persyaratan tersebut antara lain adanya penalti kadar nikel, yakni bila kadar nikel yang diterima smelter lebih rendah 0,1% dari kadar yang tertulis dalam kontrak, maka harga akan turun sebesar US$ 7. Begitu juga dengan kandungan air (Moisture Content/ MC) yakni bila MC lebih dari 30%, maka akan dikenakan denda sebesar US% 5 per wet metric ton (wmt).
Dengan demikian, bila awalnya harga terkontrak sebesar US$ 37 per wmt, maka harga aktual yang diterima penambang bisa hanya separuhnya yakni sekitar US$ 15 per wmt.