Koalisi Desak Gubernur Aceh Tertibkan Izin Tambang Bermasalah
BANDA ACEH - Koalisi Peduli Tambang Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk menyampaikan laporan hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP serta rekomendasi IUP Clear and Clean kepada Menteri ESDM dengan tepat waktu. Resume hasil evaluasi ini selanjutnya diharap dapat disampaikan kepada publik sebagai bentuk pertanggungajawaban sosial dan lingkungan.
"Serta berani melakukan upaya serius untuk mencabut izin perusahaan yang terbukti melanggar aturan baik piutang, serta perusahaan yang tidak melakukan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang," kata Fernan mewakili Koalisi Peduli Tambang Aceh melalui siaran persnya kepada portalsatu.com, Kamis, 12 Mei 2016.
Desakan ini disampaikan koalisi mengingat jatuhnya tempo yang diberikan untuk Gubernur se-Indonesia, termasuk Gubernur Aceh, untuk menindaklanjuti hasil Korsup KPK hari ini. Salah satu syaratnya, kata Fernan, gubernur segera menindaklanjuti temuan hasil korsup KPK termasuk melaporkan seluruh kegiatan yang ditindaklanjuti kepada Kementerian ESDM sebagai pihak yang mendapat mandat dari UU. Hal ini sesuai dengan kewajiban Permen ESDM Nomor 43 tahun 2015 tentang tatacara evaluasi penerbitan IUP mineral dan batubara.
Menurutnya, hasil Koordinasi dan Supervisi (Korsup KPK) terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Provinsi Aceh pada tahun 2014 lalu belum sepenuhnya ditindaklanjuti dengan baik. Walaupun Gubernur Aceh telah menerbitkan kebijakan intruksi untuk moratorium izin usaha pertambangan. Ditambah lagi peralihan kewenangan dari Pemerintah kabupaten/kota ke provinsi belum sepenuhnya terjadi.
"Dari 16 kabupaten/kota hanya Kabupaten Aceh Besar yang telah melakukan penyerahan dokumen pertambangan ke Pemerintah Aceh," katanya.
Koalisi juga mendesak Pemerintah Aceh segera memperbaharui kebijakan daerah untuk mencegah izin tambang baru di wilayah hutan lindung dan konservasi.
"Pemerintah harus membuka ruang partisipasi aktif masyarakat untuk dapat terlibat dari mulai proses pemberian izin hingga pelaksanaan kegiatan di lapangan," katanya.
Koalisi menilai upaya pembangkangan pemerintah kabupaten/kota yang masih saja memproses izin harus ditindak tegas. Menurut Fernan, hal ini sudah jelas sejak berlakunya UU 23/2014 kewenangan perizinan tambang sudah dialihkan ke Provinsi.
"Ini saatnya Gubernur Aceh bertindak, publik berharap “IUP bandel” segera dicabut jangan sampai dibiarkan dan menimbulkan masalah yang lebih berat," katanya.
Hasil kajian Koalisi Peduli Tambang Aceh menunjukkan selama Korsup KPK berlangsung, setidaknya ditemui beberapa permasalahan terhadap evaluasi IUP yang ada. Pertama, sebanyak 4 IUP masuk di kawasan konservasi dengan total seluas 31.316 Ha. Ini meliputi wilayah kabupaten Aceh Tengah seluas 31 ribu Ha; Gayo Lues 198 Ha dan Aceh Selatan 87 Ha. Sedangkan di kawasan hutan lindung total 399.959 Ha meliputi 65 IUP/KK.
"Padahal ini jelas-jelas melanggar pasal 38 ayat (1) UU 41/1999 jo. UU 19/2004," katanya. Hal kedua adalah masih banyaknya IUP yang belum CNC. Berdasarkan data yang dimiliki Koalisi diketahui, dari 138 IUP ada (per 2014), 84 IUP atau 61% belum Clean and Clear (CNC), sisanya sebanyak 54 sudah mendapatkan CNC, dan dalam UU 4 tahun 2009 CNC merupakan standar sertifikasi yang diterbitkan oleh Kementrian ESDM terhadap IUP yang memenuhi kewajiban administrasi dan tidak tumpang tindih wilayah.
Selain itu berdasarkan hasil Korsup KPK menemukan beberapa persoalan lain yang diantaranya terdapat 18 IUP bermasalah wilayah kelolanya, permasalahan koordinat peta, beda komunitas, masalah konservasi sedang, serta masalah sama komoditas dan batas Administrasi.
"Dari keseluruhan sebanyak 4 IUP dengan status masalah ringan, 7 IUP masalah sedang dan 7 IUP berstatus masalah berat terhadap wilayah kelola," ujarnya.
Permasalahan ketiga adalah belum dibayarnya piutang negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per tahun 2014 sebesar Rp 10,8 miliar. Menurut Fernan, sejak tahun 2011 Piutang PNBP mencapai Rp1,2 miliar. Sementara tahun 2012 naik menjadi Rp5,7 miliar.
"Dan angka ini terus naik sampai akhir 2014 naik kembali mencapai Rp10,8 miliar. Jumlah ini terus meningkat mencapai Rp 11,8 Milyar per maret 2015," katanya.
Dia mengatakan hasil korsup KPK menemukan ada kewajiban kurang bayar dari pemilik IUP sebesar Rp24,7 miliar. Hal ini mengartikan ada selisih terhadap kesalahan perhitungan pembayaran sebesar Rp13,9 miliar sampai 2014.
Fernan mengatakan sesuai dengan ketentuan Permen ESDM 43/2015, Kamis, 12 Mei 2016, merupakan batas waktu terakhir bagi Gubernur Aceh untuk menyampaikan hasil evaluasi terhadap IUP kepada Menteri ESDM. Menurutnya Koalisi Peduli Tambang Aceh berharap gubernur juga harus menyampaikan kepada publik terhadap upaya Pemerintah Aceh melakukan penataan terhadap kelola sektor tambang.
"Karena publik Aceh juga berhak tahu atas apa yang telah dilakukan oleh kepala Pemerintah Aceh. Dan kita juga mengetahui bahwa sektor tambang ini sangat kompleks, maka sudah seharusnya Pemerintah Aceh dapat melibatkan partisipasi berbagai pihak untuk terlibat melakukan pengawasan," katanya.
Koalisi Peduli Tambang Aceh turut menyampaikan beberapa poin lain mengenai tindaklanjut Korsup KPK ini. Seperti mendorong Pemerintah Aceh untuk memperbaiki proses perizinan khusus untuk sektor pertambangan melalui mekanisme perizinan satu pintu, dan mendesak Pemerintah Aceh untuk segera melakukan pengupayaan transisi kewenangan perizinan ke provinsi, integrasi percepatan kebijakan satu peta.
"Koalisi juga mendesak Pemerintah Aceh untuk segera memperpanjang pelaksanaan moratorium tambang," katanya.
Pasalnya, proses moratorium Aceh selama ini juga dijadikan contoh oleh Presiden dalam mendorong moratorium tambang di nasional.
"Kami juga mendorong kepada masyarakat di sekitar wilayah tambang untuk dapat berperan aktif dalam pengawasan kegiatan pertambangan yang berdampak kepada kerusakan lingkungan dan kerugian sosial," katanya.