Konservasi Dalam Pertambangan dan Pengolahan Nikel Indonesia
Metrotvnews.com, Jakarta: Tarik ulur wacana pemberian insentif ekspor komoditas bahan mineral akan segera berakhir pada Januari 2017. Arah kebijakan pemerintah sampai bulan tersebut akan menjadi sorotan kalangan dunia usaha, khususnya yang berkepentingan dengan pertambangan dan pengolahan mineral.
Sedikit kilas balik, sejak UU Nomor 4 tahun 2009 diterbitkan, seluruh pelaku industri tambang diamanatkan untuk melakukan pengelolaan bahan galian lanjut sebelum ekspor agar meningkatkan nilai tambahnya bagi banyak stakeholder. Pemerintah berharap pertumbuhan industriliasasi dalam negeri dengan memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia.
Menurut peneliti Indonesian Mining Center of Excellence (IMCE), Dr. Eng. Stephanie Saing, S.T., M.T., hal yang selama ini terlupakan dalam konteks hilirisasi adalah dalam pasokan bahan baku itu sendiri.
"Dalam kegiatan hilirisasi, konservasi bahan galian tambang yang jumlahnya terbatas sangat penting untuk diperhatikan,” ujarnya. “Konsep konservasi bahan galian mengarahkan kepada pemanfaatan optimal terhadap bahan galian, baik yang ditambang maupun saat diolah dengan tetap memperhatikan kebutuhan masa mendatang. Kaidah konservasi dalam pertambangan umumnya ditemukan dalam penentuan batas area untuk eksplorasi, perencanaan tambang yang optimal, pemanfaatan bahan galian secara maksimal, serta transformasi lahan bekas tambang menjadi lahan lain yang produktif,” imbuhnya.
Salah satu komoditas yang menjadi topik hangat selain konsentrat mineral berharga yang mencermati keputusan pemerintah pada Januari 2017, adalah nikel. Komoditas nikel yang hasil olahannya menjadi feronikel atau nikel matte merupakan feed bagi industri stainless steel di Tiongkok dan Eropa.
Menurut Stephanie, masalah pengolahan bijih nikel laterit terutama adalah minimnya biaya investasi pengembangan teknologi yang bisa mengolah nikel kadar rendah dikarenakan harga komoditas yang turun meskipun saat ini sudah mulai dikembangkan produksi nickel pig iron (NPI) atau nikel kadar rendah. “Dulu, 80 persen bijih nikel kadar rendah diekspor ke Tiongkok. Saat ini ada juga yang dikembangkan NPI, produksinya mencapai 271 ribu ton tahun 2015,” kata Stephanie.
Masalah kedua, menurut Stephanie, adalah kapasitas pabrik pengolahan NPI saat ini belum memadai untuk bijih-bijih kadar rendah yang dihasilkan setiap menambang nikel kadar tinggi. “Kalau menambang bijih nikel kadar tinggi sudah otomatis nikel kadar rendahnya ikut tertambang," ujar Stephanie. Dia menyampaikan, tidak mudah bagi Indonesia untuk pengolahan bijih nikel kadar rendah dengan kondisi teknologi, investasi dan penurunan produksi stainless steel di Tiongkok.
Data Kementerian ESDM tahun 2016 mencatatkan, baru 4 smelter NPI yang telah merampungkan konstruksi pabriknya dan bersiap produksi. Keempatnya telah memastikan sumber pasokan berasal dari tambang yang merupakan satu group pengelola maupun dari konsorsium beberapa tambang lain sekitar smelter. Sedangkan smelter lainnya masih proses membangun.
“Belasan smelter lain yang sedang konstruksi dengan tingkat kemajuan yang beragam menyebabkan sumberdaya nikel kadar rendah masih belum terserap oleh industri dalam negeri” ungkap Stephanie. “Pada umumnya, rasio jumlah sumberdaya nikel kadar rendah bisa mencapai 10 kali lipat dibandingkan dengan total sumberdaya nikel kadar tinggi yang tersedia. Sehingga, kapasitas pengolahan nikel kadar rendah yang harus disiapkan minimal setara nilai rasio dari jumlah nikel kadar tinggi yang akan ditambang,” tambahnya.
Antam misalnya yang harus mengoptimalkan sekitar 890 juta WMT sumberdaya nikel bijih nikel kadar rendah (1,3 persen 1,8 persen). Menurut Stephanie, sulitnya kondisi mendapatkan investasi dan beragam tantangan lainnya membuat Antam juga tidak bisa terus menerus menambang bijih kadar rendah tanpa pengolahan. “Komoditas nikel kadar rendah akan jadi beban operasional tambang dan karena menumpuk menjadi tidak sejalan dengan konservasi bahan galian,” ujarnya.
Selama tenggat waktu menunggu kondisi global membaik akan menjadi tantangan bagi pemegang kebijakan agar mempertimbangkan kaidah konservasi tanpa merusak iklim bisnis. “Negara dapat memberdayakan kelimpahan sumberdaya nikel kadar rendah yang selama ini jadi waste menjadi komoditas ekspor sementara waktu,” tuturnya.
“Akan memberikan manfaat penerimaan negara dan mendorong pemasukan untuk pengembangan teknologi pengolahan bijih kadar rendah itu sendiri,” ujarnya. Namun, Stephanie juga mengingatkan perlu ada mekanisme komitmen investasi yang dialokasikan dari pendapatan ekspor untuk research and development dan pengawasan selama kegiatan ekspor berjalan.