Gara-gara ekspor bijih nikel diperbolehkan pemerintah, belasan perusahaan pertambangan merugi dan terancam gulung tikar. Investor yang ramai-ramai membangun smelter pada tahun 2012-2014 kini di ambang bangkrut.
Para pengusaha yang tergabung di Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) meminta pemerintah segera menghentikan kebijakan ekspor bijih nikel.
Pembangunan smelter atau pengolahan mineral di Indonesia merupakan amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Filosofi UU ini adalah pentingnya nilai tambah dari produk primer bagi bangsa dan negara. Produk primer atau komoditas yang langsung diekspor tidak banyak memberikan nilai tambah bagi Indonesia, bahkan dalam jangka panjang merugikan.
Kerugian lebih besar lagi jika komoditas yang diekspor itu tergolong nonrenewable resources atau sumber daya yang tidak bisa didaur ulang. Tidak seperti komoditas agribisnis seperti CPO, mineral atau barang tambang tergolong nonrenewable resources. Komoditas berbasis fosil ini hanya sekali pakai.
Selain itu, sumber mineral pun terbatas. Cepat atau lama, minyak, gas, dan berbagai barang tambang akan habis. Itu sebabnya, UU Minerba mewajibkan perusahaan mineral di Indonesia membangun smelter. Perusahaan tambang yang berinvestasi di Indonesia lewat kontrak karya (KK) diberikan keleluasaan untuk terus beroperasi hingga KK selesai. Namun, bagi yang ingin mendapatkan ‘kenikmatan’ seperti perusahaan yang mengikuti izin usaha pertambangan (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dipersilakan menyesuaikan diri.
Perusahaan nikel umumnya taat asas. Mereka mengikuti rezim baru pertambangan sesuai amanat UU Minerba, yakni berinvestasi dengan IUP atau IUPK. Sekitar 24 perusahaan nikel membangun smelter dengan total investasi sekitar US$ 18 miliar. Investor asal Tiongkok mendominasi dengan investasi sekitar 95% atau US$ 17 miliar. Mereka berjanji untuk terus menambah investasi di smelter.
Kebijakan yang menyusahkan para investor smelter nikel itu tercantum pada Permen ESDM 6/2017, yang merupakan aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang diterbitkan pada Januari 2017.
Dalam lima bulan terakhir, harga komoditas nikel anjlok 12% dan 11 pabrik smelter nikel berhenti berproduksi. Masuk dalam deretan perusahaan yang terkena dampak Permen ESDM ini adalah perusahaan terbuka, yakni PT Aneka Tambang Tbk dan PT Vale Indonesia Tbk (dahulu PT Inco Tbk).
Dengan dibolehkan ekspor bijih nikel, pabrik nikel dunia yang sudah maju mendapat pasokan bijih nikel dengan harga yang cukup murah. Dengan teknologi yang lebih maju, smelter di negara maju mampu memproduksi nikel pada harga yang lebih murah.
Kondisi inilah yang membuat harga nikel dunia jatuh dan kejatuhan itu memukul perusahaan smelter di Indonesia yang baru tumbuh. Para investor nikel di Indonesia mengatakan, mereka diajak pemerintah Indonesia membangun smelter untuk kemudian ‘dibunuh’ dengan kebijakan.
Pemerintah tentu memiliki alasan yang kuat untuk menerbitkan Permen ESDM No 6/2017 itu. Namun, melihat dampak yang cukup serius, kebijakan itu perlu dikaji kembali. Para pelaku usaha di sektor nikel, terutama investor yang sudah membangun perusahaan pemurnian nikel diajak bicara. Jika memang dampak buruk dari kebijakan itu jauh lebih besar dibanding dampak positifnya, pemerintah perlu dengan besar hati melakukan koreksi.
Kemajuan dunia usaha sangat ditentukan oleh kualitas kebijakan pemerintah. Jika kebijakan tepat, dunia usaha akan maju pesat. Pada dasarnya, setiap perusahaan berlomba- lomba meraih laba. Tak ada satu pun pengusaha yang maunya merugi. Karena itu, iklim usaha yang kondusif sangat diharapkan oleh setiap pelaku usaha. Pemerintah juga berkepentingan dengan kemajuan dunia usaha demi penyerapan tenaga kerja, penurunan angka kemiskinan, pengurangan kesenjangan ekonomi, penerimaan pajak, dan laju pertumbuhan ekonomi.
Untuk menghasilkan kebijakan yang berkualitas, pemerintah sebaiknya sering mencari masukan dari para pelaku usaha. Jangan pernah menganggap pengusaha adalah penjahat. Para pelaku usaha adalah aset bangsa yang perlu didukung. Jumlah mereka pun harus dilipatgandakan. Berita penutupan perusahaan akibat kebijakan pemerintah bukan hanya berita buruk, melainkan peringatan kepada pemerintah untuk berbenah.
Salah satu kebijakan yang buruk adalah kebijakan yang berubah-ubah atau inkonsisten. Dalam kasus pabrik pemurnian nikel, yang terjadi adalah inkonsistensi kebijakan. UU Minerba mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter dan melarang ekspor produk tambang. Barang tambang wajib diolah di dalam negeri agar memberikan nilai tambah lebih besar.
Tapi, ketika banyak investor membangun smelter, muncul kebijakan yang membolehkan ekspor bijih nikel. Inkonsistensi seperti ini harus dihentikan. (*)