a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Laju Freeport dan Industri Smelter yang Megap-Megap

Laju Freeport dan Industri Smelter yang Megap-Megap
Rilis informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap semua pertanyaan publik mengenai nasib PT Freeport Indonesia. Jumat, 21 Juli 2017 lalu kepada media, Ketua Tim Perundingan Pemerintah sekaligus Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Teguh Pamudji, menyatakan bahwa PT Freeport Indonesia sudah sepakat untuk melaksanakan dua hal penting yang menjadi perhatian tinggi pemerintah.

Pertama, terkait pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Kedua, perpanjangan kontrak. Freeport telah setuju untuk melakukan pembangunan smelter 5 tahun dari sekarang dan berjanji akan selesai sebelum Januari 2022. Sementara itu, perpanjangan kontrak yang diberikan pemerintah sampai dengan 2031.

Berita ini mengagetkan publik. Berdasarkan perjanjian sebelumnya, secara otomatis pada 2021 Freeport akan menjadi milik Indonesia. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kementerian ESDM menjelaskan bahwa Menteri ESDM telah setuju untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berlaku hingga 2021. Kemudian izin ini diperpanjang sekali lagi sampai dengan 2031. Sementara itu, urusan terkait investasi lanjutan di Indonesia serta kewajiban divestasi saham akan dibicarakan lebih lanjut bersama dengan Menteri Keuangan.

Di sisi lain, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1/2017 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5/2017 serta Nomor 6/2017 yang mengizinkan kembali ekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel.

Pemerintah Kalah?

Terbitnya peraturan inilah yang dicurigai publik sebagai bentuk “kalahnya” pemerintah di hadapan PT Freeport Indonesia. Walaupun hal itu telah dibantah oleh pihak-pihak terkait, imbas di lapangan tak bisa dipungkiri. Tanda-tanda tumbangnya sektor pengolahan logam atau smelter pun mulai kelihatan.

Baru-baru ini pabrik smelter nikel PT Indoferro di Kota Cilegon mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Manajemen pabrik yang dimiliki investor asal Cina ini diketahui mengumumkan PHK terhadap ribuan karyawannya per tanggal 20 Juli 2017. Dengan alasan perekonomian lesu yang berdampak pada berhentinya produksi, industri smelter ini meminta karyawannya untuk menerima keputusan PHK tersebut.

Tengok saja kinerja investasi smelter tahun ini. Dari 12 smelter bauksit dan nikel yang direncanakan dibangun pada 20l5, ternyata yang terealisasi hanya 5 smelter, atau dari empat yang direncanakan pada 2016, hanya dua smelter yang terealisasi.

Secara makroekonomi situasi ini jelas berbahaya bagi perekonomian. Bagaimana mungkin pemerintah bisa mencapai pertumbuhan 5,2% yang digadang-gadang pada semester II/2017 ini bila target investasi yang dikejar tak juga tercapai?

Bukan apa-apa, geger di industri smelter punya rantai kekisruhan yang lumayan panjang. Dari mulai potensi banyak berkurangnya PDB regional, PNBP, pajak, hingga turunnya potensi investasi dari luar negeri yang berefek pada rusaknya pasar tenaga kerja.

Kondisi ini diamini Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I). Asosiasi menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan smelter di Indonesia sudah bersiap mem-PHK karyawan akibat kebijakan pelonggaran atau relaksasi ekspor konsentrat dan mineral mentah kadar rendah.

AP3I mengumumkan bahwa gelombang PHK mulai menerpa anggotanya. Mulai dari Indofero yang mencapai 280 pekerja, PUK Indocoke 54 karyawan, dan PUK SPKEP JKP 168 orang sudah mendapatkan surat pengumuman PHK per 20 Juli 2017 karena perusahan tutup dan tidak ada lagi aktivitas.

Yang lebih menyeramkan, sesuai data AP3I, kurang lebih ada 12.000 tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di industri mineral mentah atau hasil tambang yang terancam PHK. Juga dilaporkan oleh asosiasi bahwa saat ini sudah ada 11 smelter yang berhenti beroperasi, yakni PT Karyatama Konawe Utara, PT Macika Mineral Industri, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Huadi Nickel, PT Titan Mineral, PT COR Industri, PT Megah Surya, PT Blackspace, PT Wan Xiang, PT Jinchuan, dan PT Transon.

Ada pula sekitar 12 perusahaan smelter nikel yang merugi akibat jatuhnya harga. Mereka adalah PT Fajar Bhakti, PT Kinlin Nickel, PT Century, PT Cahaya Modern, PT Gede Industri, PT Tsingshan, PT Guang Ching, PT Cahaya Modern, PT Heng Tai Yuan, PT Virtue Dragon, PT Indoferro, dan pemain lama, dan PT Vale Indonesia Tbk.

Total smelter yang ada di Indonesia sebanyak 32, dan 25 di antaranya merupakan smelter nikel. Yang memprihatinkan, relaksasi ekspor itu membuat 23 dari 25 smelter di Indonesia dalam kondisi “sakit” sehingga potensial mengambil kebijakan PHK.