Larangan Ekspor Nikel RI Dipercepat, Filipina Bakal Cuan
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah yang semestinya berlaku mulai 2022 mendatang.
Tentu ini akan berdampak. Menurut Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menambahkan, bila pelarangan ekspor nikel dipercepat, pasar nikel tentu akan terganggu, namun sifatnya sementara, dan kemudian akan mencari keseimbangannya sendiri.
Pembelian bijih nikel, lanjut Irwandy, akan beralih misalnya antara lain ke negara seperti Filipina, dengan bijih yang kadar nikelnya lebih rendah dari kadar bijih nikel Indonesia. "Industri nikel Indonesia seharusnya mempercepat proses nilai tambah dengan melengkapi pohon industri nikel Indonesia," kata Irwandy kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Rabu (21/8/2019).
Terkait soal kontraknya, Irwandy menuturkan, apabila dipercepat pelarangan ekspornya, kontrak yang sudah ada harus dihormati namun hanya sampai batas waktu perpanjangan yang ada di peraturan pemerintah.
Di sisi lain, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso, berpendapat, ada inkonsistensi pemerintah terhadap aturan dan ini akan buruk di mata investor.
Selain itu, Budi menilai, ada kekawatiran, ketika larangan ekspor bijih nikel dilarang dan pemerintah tidak mengawasi harganya, berpotensi terjadi permainan harga. Praktik ini, kata Budi, sudah terjadi, misalnya kadar nikel 1,8% dibeli dengan harga US$ 20, sedangkan yang kadar 1,7% saja harga pasarnya US$ 32.
Dampak lainnya, menurut Budi, yakni ada potensi turunnya PNBP dari sektor minerba karena ekspornya dialihkan untuk penggunaan di dalam negeri, apalagi rencana produksi dari Freeport masih belum maksimal dalam beberapa tahun ke depan.
"Jadi belum ada substitusi devisa yang didapat dari ekspor nikel," pungkasnya.
Dari sisi BUMN, larangan ekspor ini juga akan berdampak ke kinerja Antam. Direktur Utama PT Antam Tbk Arie Ariotedjo mengakui, jika ada penyetopan ekspor ore nikel maka Antam akan kehilangan potensi pendapatan dari komoditas itu meskipun tidak terlalu signifikan.
"Misal saja dalam setahun ada 4 juta ton ekspor sekitar US$ 150 juta pertahun kasarnya Rp 2 triliun. Target revenue kami kan bisa Rp 30 triliun. Jadi secara revenue untuk 1 tahun turun 7% lah," jelasnya.
Namun, lanjut Arie, akan ada kompensasi dari kenaikan harga dan peningkatan penjualan dan bauksit emas sehingga potensi Rp 2 triliun yang hilang itu bisa ditutupi.
Di sisi lain, Arie berpendapat, pemerintah memiliki pertimbangan lain yang lebih memberi keuntungan bagi bangsa dan negara. Ia mengatakan, dengan dihentikannya ekspor ore nikel maka harga nikel akan naik, dan perusahaan smelter akan mencetak lebih besar keuntungan, sehingga dapat berkontribusi lebih banyak lagi ke negara dalam bentuk pajak.
"Antam sebagai perusahaan negara harus mendukung bagi peningkatan nilai tambah bagi bangsa dan negara. Selain itu terjadi konservasi terhadap cadangan nikel yang ada di bumi," pungkasnya.