REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade meminta pemerintah memperbaiki tata niaga nikel agar lebih menguntungkan bagi penambang nikel nasional. Harga beli nikel juga harus dipantau agar sesuai dengan ketentuan pemerintah terkait harga patokan mineral (HPM).
Menurut Andre, tata niaga yang perlu diperbaiki adalah perniagaan antara penambang dan smelter. Menurutnya, ada praktik tidak sehat dan harus segera diselesaikan.
“Saya usul agar Komisi VI segera memanggil menteri terkait agar mengatur tata niaga yang berpihak kepada Indonesia, bukan ke smelter-smelter,” kata Andre di Jakarta, Kamis (14/11).
Andre menuturkan, praktik tidak sehat itu diduga melibatkan perusahaan surveyor yang bertugas menilai tingkat kadar nikel. Dari laporan yang diterimanya, surveyor tersebut bukan perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah. "Kami akan investigasi, kalau perlu buat panja," kata dia.
Politikus Gerindra itu mengatakan, Komisi VI DPR mendorong agar ada keberpihakan terhadap pengusaha tambang nasional. "Saya harap Komisi VI keluarkan rekomendasi untuk lindungi sumber daya kita."
Pada awal 2020, bijih nikel dilarang diekspor sehingga hanya akan terserap di dalam negeri. Namun, menjelang batas waktu pelarangan ekspor, tata niaga dalam negeri belum menguntungkan pelaku tambang. Keluhan tata niaga nikel disampaikan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Bahkan, disebutkan adanya dugaan kartel yang membuat harga jual beli nikel rendah. Dugaan itu telah dilaporkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak tiga bulan lalu.