a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Lika Liku Pembangunan Smelter di Indonesia

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral usai diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.

Kebijakan ini tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Investasi tersebut telah berhasil membangun sejumlah 13 fasilitas pemurnian Nikel dengan berbagai macam produk yang dihasilkan, yakni NPI, FeNi dan NiHidroxode.

Investasi itu juga mampu memurnikan bijih Nikel di dalam negeri dengan kapasitas 34 juta ton bijih Nikel. Ke-13 perusahaan tersebut di antaranya adalah Wanatiara, Antam, First Pasific Mining, Bintang Smelter Industri, Huadi Nikel Alloy Indonesia, Kinlin Nikel Industri, Huadi Nikel, Titan Mineral.

Kemudian, Wan Xiang, Macica Mineral Industri, Fajar Bakti, Sambas Minerals Mining, Ceria Nugraha Indotama, Integra Mining Nusantara. Tidak hanya Nikel, investasi di pemurnian Bauksit juga meningkat, dan nilainya mencapai US$ 1,5 miliar (sekitar Rp 20 triliun). Kemampuan mengolah mencapai 4,4 juta ton Bauksit di dalam negeri dan telah mampu memproduksi 700 ribu ton Alumina.

Kebijakan turunan dari PP 1/2017 juga ikut mendorong minat pelaku usaha untuk sungguh-sungguh membangun smelter baru. Contohnya, Permen ESDM No 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 yang memberikan insentif bagi pelaku usaha yang membangun fasilitas pemurnian untuk dapat menjual bijih nikel kadar rendah. Malahan, kebijakan ini juga ikut mendorong existing smelter meningkatkan kapasitas fasilitasnya.

Sementara pada komoditas Bauksit, insentif peningkatan nilai tambah mampu mendorong investasi baru untuk membangun 4 fasilitas pemurnian sebesar US$ 4 miliar (sekitar Rp 52 triliun). Investasi ini diyakini bisa meningkatkan kemampuan memurnikan Bauksit di dalam negeri sebesar 13,7 juta ton.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan, PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral selama ini menikmati keistimewaan karena memperoleh rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM. Bahkan, Freeport bahkan kembali diberi tengat waktu lima tahun hingga 2022 untuk membangun smelter.

Sementara itu, Amman Mineral hingga kini masih belum jelas akan bekerja sama dengan Freeport atau membangun sendiri smelter di Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya menghentikan rencana memberikan rekomendasi ekspor mineral mentah kepada perusahaan yang baru merencanakan pembangunan smelter.

Selain karena komitmen perusahaan dalam membangun smelter masih diragukan karena masih berada di tahap awal, inisiatif tersebut juga bertolak belakang dengan semangat hilirisasi yang mewajibkan semua mineral mentah tambang diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Sedangkan, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso mengatakan, pemerintah harus menerapkan pengawasan kemajuan seperti proposal yang diajukan oleh pemegang IUP dan Kontrak Karya.

Pengawasan tersebut benar-benar harus mencermati kemajuan pembangunan smelter, perhitungan sumberdaya dan cadangan sesuai dengan standar KCMI. Ketua Indonesian Mining Institute (IMI), Prof Irwandy Arif menegaskan, sebaiknya pemerintah tetap konsisten pada proses nilai tambah mineral Indonesia sesuai dengan amanat UU Minerba.

Koordinasi Nasional Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah mengatakan, pihaknya pada dasarnya konsisten meminta pemerintah menghentikan pemberian relaksasi ekpor mineral mentah karena bertentangan dengan UU Minerba.

Sebelumnya, Kementerian ESDM mengatakan perusahaan-perusahaan yang sudah merealisasikan ekspor bijih nikel dan bauksit sudah memiliki smelter masing-masing, sedangkan perusahaan yang belum mendapatkan rekomendasi ekspor akan diberi kuota berdasarkan rencana pembangunan smelter.

Sampai 7 Maret 2018, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian konsentrat PT Freeport Indonesia di Gresik saat ini baru mencapai 2,4%. Smelter tersebut nantinya memiliki kapasitas input 2 juta dry metric ton (dmt) konsentrat Cu per tahun dan kapasitas output 460.000 katoda tembaga. Sedangkan, capaian pembangunan smelter terbesar di PT Primier Budidaya dan PT Sumber Baja Prima masing-masing 100%.

Kemudian disusul oleh PT Kapuas Prima Coal untuk komoditas konsentrat timbal dan seng masing-masing 81,13% dan 13,54%. Selanjutnya, pembangunan smelter PT Sebuku Iron Lateritic Ores untuk konsentrat besi sudah mencapai 56,29%, disusul oleh pembangunan smelter PT Rusan Sejahtera untuk konsentrat besi 14,77%, PT Amman Mineral Nusa Tenggara untuk konsentrat tembaga 10,10%, dan PT Smelting untuk konsentrat lumpur anoda 4,63%.

Sedangkan, untuk pembangunan smelter nikel yang sudah 100% adalah milik PT Aneka Tambang Tbk, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Trimegah Bangun Persada, PT Gane Permai Sentosa, dan PT Mulia Pasific Resources. Sementara itu, untuk smelter bauksit yang sudah mencapai 100% adalah milik PT Aneka Tambang Tbk dan PT Cita Mineral Investindo.

Berikut 13 smelter nikel yang sudah terbangun dan beroperasi hingga menghasilkan 598 ribu ton (FeNi dan NPI) serta 64 ribu ton Ni-Matte (lihat tabel)

Belum optimalnya akselerasi dan kemajuan pembangunan smelter di Indonesia jelas kurang memberikan kontribusi yang diharapkan bagi upaya meningkatkan nilai tambah (value added) sumber daya mineral.

Disamping itu, pembangunan smelter akan menjadi katalisator agar ketahanan energi (energy security) di Indonesia di bidang Minerba tetap terjaga sebagai salah satu pemasukan signifikan bagi anggaran negara untuk memaintain atau menjaga pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, perlu ada ketegasan dari stakeholders terkait di bidang Minerba untuk memberikan “punishment” kepada perusahaan-perusahaan yang lambat atau enggan membangun smelter di Indonesia, sebab jika hal ini gagal dilaksanakan maka pemerintahan Joko Widodo akan berada dalam posisi lemah karena permasalahan ini dapat dipolitisasi bahwa eksistensi dan kewibawaan UU Minerba di Indonesia gagal dilaksanakan atau diemban oleh pemerintahan saat ini, karena regulasi dan aturan terkait Minerba gagal diimplementasikan akibat adanya “plutarchy bureucracy atau bureucracy polity” atau birokrasi yang dikendalikan oleh oligarki kaya yang berkolaborasi dengan “field player” yang menggadaikan masa depan sumber daya alam Indonesia terutama Minerba terhadap kepentingan asing.