Sepanjang tahun 2017, harga komoditas logam industri tumbuh fantastis. Berbagai regulasi baru di sektor pertambangan yang diterapkan pemerintah China mampu mengangkat harga komoditas logam industri.
Aluminium mencatatkan kenaikan harga tertinggi, yakni 33,96%. Jumat (29/12), harga aluminium pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) menetap di US$ 2.268 per metrik ton. Sepanjang 2017, harga aluminium telah melesat 33,96%.
Harga tembaga juga naik tinggi tahun lalu. Selama 2017, harga tembaga telah menguat 30,92%. Di perdagangan terakhir tahun lalu, harga tembaga kontrak tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) tercatat senilai US$ 7.247 per metrik ton.
Sementara harga nikel menguat sekitar 27,35% sepanjang tahun lalu. Harga nikel pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) ditutup di level US$ 12.760 per metrik ton.
Namun tak semua harga logam industri menguat. Harga timah justru merosot sepanjang tahun lalu. Timah menjadi satu-satunya logam di London Metal Exchange (LME) yang mengalami penurunan harga pada tahun ini.
Pada penutupan perdagangan Jumat lalu, harga timah kontrak tiga bulanan berada di US$ 20.025 per metrik ton. Selama 2017, harga timah turun 5,21%. Padahal di 2016, harga timah naik 44,10%.
Bagaimana prospek harga logam industri ke depan? Simak ulasan para analis.
Aluminium
Harga aluminium tahun lalu mulai naik saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggulirkan rencana pembangunan di bidang infrastruktur. Meski rencana tersebut belum terwujud, tetapi wacana tadi telah menjadi sentimen positif bagi harga aluminium di awal tahun.
Memasuki pertengahan tahun, sentimen dari China menggerakkan aluminium. Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu berencana menutup beberapa smelter aluminium ilegal dan mengurangi produksi demi menekan tingkat polusi udara.
Hal ini mendorong harga naik. “Pengurangan kapasitas yang dilakukan oleh Beijing selama setahun terakhir telah membayangi setiap pergerakan komoditas global,” ujar Wahyu Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures.
Harga aluminium juga diuntungkan dari kelangkaan pasokan biji bauksit. Permintaan yang kuat dari pabrik peleburan aluminium tidak dapat terpenuhi dan mendorong harga menguat semakin tinggi.
Tahun ini, permintaan aluminium global diperkirakan naik lebih dari 5%. Sedang pemangkasan produksi diperkirakan mencapai 3,5 juta dan 4 juta metrik ton setiap tahun selama tiga tahun mendatang.
Namun penguatan harga tahun ini akan dibayangi sentimen negatif berupa potensi peningkatan pajak impor aluminium China. Wahyu memperkirakan, harga aluminium tahun ini akan bergerak di kisaran US$ 1.900-US$ 2.500 per metrik ton.
Tembaga
Alasan fundamental menjadi sentimen positif yang mengangkat tembaga di 2017. Tak jauh berbeda dari tahun sebelumnya, keterbatasan pasokan kembali menjadi fokus perhatian investor.
Pemogokan yang mengganggu aktivitas tambang Escondida di Cile dan belum tercapainya kesepakatan Freeport MacMoran dengan pemerintah Indonesia cukup berpengaruh menekan tingkat produksi. “Perkiraan defisit naik,” terang Wahyu.
Sementara itu, hingga November 2017, permintaan tembaga dari China melonjak hampir 10% ke 786.000 ton. Pengiriman konsentrat tembaga di bulan yang sama tumbuh menjadi 1,78 juta ton.
Wahyu memperkirakan penguatan harga masih akan berlanjut tahun ini. Bila ekonomi China dan Amerika Serikat tumbuh, permintaan komoditas industri, termasuk tembaga, akan meningkat.
Dari sisi produksi, tembaga diuntungkan oleh kekurangan pasokan gas alam di China utara, seperti di Hebei dan Shandong. Akibatnya, beberapa pengolahan tembaga mengurangi produksi. Wahyu memprediksi, harga tembaga tahun ini bergerak di kisaran US$ 6.000-US$ 8.000 per metrik ton.
Nikel
Di awal 2017, penguatan harga nikel ditopang oleh reformasi tambang di Filipina. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Filipina Regina Lopez menutup 21 tambang berhasil menekan pasokan dan melambungkan harga. Namun sinyal positif itu tak bertahan lama, karena Lopez dipecat.
Lalu pemerintah Indonesia mencabut larangan ekspor bijih nikel. “Harga nikel kembali tertekan di Maret sampai Mei. Pada 12 Juni, nikel ditutup pada level terendah sepanjang tahun lalu, yakni di US$ 8.795 per metrik ton,” ujar Andri Hardianto, analis Asia Tradepoint Futures.
Memasuki semester dua, harga nikel baru kembali merangkak naik, seiring tumbuhnya sektor industri. Sentimen penggerak harga kembali datang dari pertumbuhan ekonomi China dan permintaan mobil listrik.
Di pengujung tahun, China menerapkan kebijakan baru, terkait pemotongan pajak ekspor baja China dan kenaikan pajak impor nikel hasil pemurnian, menjadi 20%. Menurut Andri, aturan baru ini akan berpengaruh untuk mendorong permintaan. “Dua kebijakan ini masih akan menjadi katalis positif untuk nikel di 2018,” terang dia.
Andri memprediksi harga nikel tahun ini akan bergerak di kisaran US$ 13.000-US$ 14.000 per metrik ton.
Tembaga
Sementara harga nikel turun gara-gara PT Timah Tbk berencana meningkatkan ekspor. Perusahaan pelat merah Indonesia ini menargetkan ekspor timah tumbuh dari 24.000 ton di 2016 menjadi 30.000 ton di 2017.
Hal ini dikhawatirkan mengakibatkan oversupply. Apalagi pasokan dari China sedang tinggi. “Perusahaan China mulai membanjiri pasar internasional dan ini menekan harga,” ungkap Wahyu Tribowo Laksono.
Namun memasuki paruh kedua, timah mendapatkan dukungan dari pertumbuhan sektor elektronik, yaitu produksi telepon pintar dan reformasi tambang di China. Pasokan timah kembali defisit. Di akhir kuartal tiga, harga nikel bangkit dan naik ke level US$ 20.175 per metrik ton.
Wahyu menganalisa, harga timah masih akan positif sepanjang tahun ini. Permintaan diyakini masih tumbuh sekitar 1%-2%. Kemudian defisit diprediksi akan mencapai 5.000-10.000 ton. Menurut hitungan Wahyu, harga akan bergerak antara US$ 20.000-US$ 21.000 per metrik ton.