Luhut Ingin Relaksasi Ekspor Konsentrat, Ini Kata Pengusaha Smelter
Jakarta -Berdasarkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (UU Minerba), pemerintah menetapkan larangan ekspor mineral mentah sejak 2014 untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri.
Pemerintah masih memberi kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter. Relaksasi diberikan pemerintah hingga 2017, pembangunan smelter harus sudah selesai.
Tapi hingga menjelang berakhirnya relaksasi di Januari 2017, masih banyak yang belum menyelesaikan pembangunan smelter, misalnya Freeport dan Newmont.
Kini, pemerintah berencana merevisi UU Minerba untuk kembali memberikan perpanjangan izin ekspor konsentrat pada perusahaan-perusahaan yang belum merampungkan smelter.
Demikian disampaikan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan pekan lalu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), Sukhyar mengungkapkan, relaksasi yang diberikan pemerintah sudah 8 tahun, waktu yang cukup panjang. Tetapi meski sudah 8 tahun berlalu, situasi di lapangan memang kurang memungkinkan untuk diberlakukannya pelarangan ekspor mineral mentah secara penuh.
"Pertama-tama, harus dilihat Bahwa UU Nomor 4 Tahun 2009 itu kan mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan pemurnian 4 tahun sejak aturan diundangkan, 11 Januari 2014. Tapi, pada saat itu, belum 1 pun yang menyelesaikan, maka pemerintah memberi relaksasi 3 tahun. Sekarang sudah 8 tahun, apa yang terjadi? Freeport, Newmont, dan beberapa IUP juga belum jadi. Apa pun kebijakan yang diambil pemerintah harus sesuai UU, maka perlu revisi UU," kata Sukhyar kepada detikFinance di Jakarta, Senin (5/9/2016).
Kalau pemerintah kembali memberikan relaksasi, harus dipastikan bahwa kali ini perusahaan-perusahaan tambang benar-benar melaksanakan kewajibannya membangun smelter. Kalau kebijakan yang dibuat pemerintah tidak ditaati terus-menerus, negara dipermalukan oleh korporasi.
"Yang menjadi perhatian, jangan sampai nanti diperpanjang lalu (smelter) nggak selesai juga, nanti pemerintah yang dipermalukan. Mau berapa tahun lagi? Harus sesuai UU," tegasnya.
Mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM ini juga mengungkapkan, sebenarnya tak semua jenis komoditas mineral membutuhkan relaksasi. Untuk nikel misalnya, sudah banyak smelter yang selesai dibangun, sudah tak perlu relaksasi lagi. Lalu bauksit dan zinc juga sebentar lagi juga sudah siap. Namun ada juga komoditas yang sangat belum siap, misalnya tembaga.
Maka kebijakan relaksasi untuk tiap komoditas mineral harus dibedakan. Untuk smelter-smelternya yang sudah siap, tentu tak perlu relaksasi. Untuk yang smelternya belum siap, maka perlu relaksasi lebih panjang.
"Diawasi juga jangan sampai nggak jadi smelternya. Evaluasi dari Ditjen Minerba, banyak smelter nikel yang sudah selesai. Bauksit, zinc, sudah menuju pemurnian. Masing-masing komoditi punya karakteristik sendiri-sendiri," tuturnya.
Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handojo menambahkan, pemerintah harus berhati-hati bila kembali memperpanjang relaksasi lewat revisi UU Minerba. Ini bisa merusak iklim investasi. Sudah banyak investor yang berminat membangun smelter di Indonesia, tentu kepercayaan mereka bisa hilang kalau ada relaksasi lagi.
"Awal 2016 ini animo investor sungguh luar biasa. Ada 27 calon investor besar di smelter, itu disampaikan Pak Franky Sibarani (saat masih menjadi Kepala BKPM). Kalau ada relaksasi lagi, ini bisa jadi preseden buruk," tutupnya.