Pertemuan para produsen baja se-Asean akhir Mei lalu di Vietnam menyisakan pertanyaan mendalam tentang masa depan industri baja kawasan termasuk Indonesia setelah melihat gambaran kinerjanya tahun lalu.
Asosiasi Baja Dunia melaporkan bahwa China sangat mendominasi produksi baja dunia. Dari total produksi baja kasar dunia tahun lalu 1.600 juta ton, separuhnya produksi Negeri Tirai Bambu. Sementara itu, Asean-6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam dan Singapura) dengan tingkat konsumsi 70 juta ton per tahun dan pertumbuhan 5,1% per tahun, hanya mampu memproduksi 29 juta ton, dengan pertumbuhan hanya 4,4 %. Kenyataannya produsen Asean hanya mampu mengisi 29% konsumsi domestiknya dan 49 juta ton sisanya diimpor.
Secara ‘cerdas’ produsen China membubuhkan elemen boron 0,0008% atau chromiun 0,3%, agar terklasifikasi baja paduan hingga dapat mengecap kedua fasilitas tersebut, padahal secara metalurgi tidak meningkatkan sifat mekanis ataupun kimianya. Berbeda untuk baja karbon, Asean mengenakan tarif impor baja paduan kecil nyaris 0%, karena baja jenis ini bahan baku industri permesinan. Di tengarai sepanjang 2015 sekitar 4 juta ton bahan terklasifikasi jenis ini masuk ke Asean, sehingga volume ekspor ke Asean tahun lalu meningkat 28%.
Baja adalah lambang ketahanan industrialisasi suatu negara, dengan konsumsi per kapita per tahun RI hanya 45 kg, di bawah Asean 125 kg, dan jauh di bawah Korsel yang sudah mencapai 1.136 kg, sebenarnya peluang industri sangat besar untuk terus berkembang. Kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur akan sangat besar ke depan. Negara maju seperti AS, Jepang tetap dengan segala upaya melindungi industri ini, karena baja sangat dibutuhkan bagi pembangunan serta ketahanan negara dalam memproduksi peralatan militer dan sebagainya. (id/bc/sn/l6/bj)