Empat perusahaan pelat merah yakni PT Inalum, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Timah Tbk (TINS) dikonsolidasikan. Proses konsolidasi sudah dimulai sejak November 2017 dan tahun ini hasilnya mulai efektif terasa dengan kedudukan Inalum sebagai holding.
Hal itu membuat perusahaan selain memiliki bisnis tambang aluminium, Inalum juga didaulat menjadi pengonsolidasi kinerja dari seluruh BUMN tambang.
Berdasarkan analisis tim riset CNBC Indonesia, dengan akuisisi PTFI maka Indonesia memiliki kendali atas cadangan terbukti dan terkira di lapangan PTFI yang secara kasar bernilai Rp 2.400 triliun, yang terdiri dari 38,6 miliar pound tembaga, 33,8 juta ounce emas, dan 156,2 juta ounce perak.
Prospek Inalum sebagai holding tambang juga semakin moncer karena setiap anak usaha memiliki rencana ekspansi termasuk hilirasasi. Bukan hanya menjual hasil bumi, tetapi juga mengolah komoditas hasil tambang sehingga memiliki nilai tambah.
Kita mulai dari PTBA memiliki yang memiliki rencana gasifikasi, yakni mengubah batubara menjadi produk akhir yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
Teknologi gasifikasi ini memungkinkan mengkonversi batubara muda menjadi syngas yang merupakan bahan baku untuk diproses lebih lanjut menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar, urea sebagai pupuk, dan Polypropylene sebagai bahan baku plastik.
Pembangunan pabrik pengolahan gasifikasi batubara rencananya dimulai pada akhir tahun ini dan mulai beroperasi pada 2022. Diharapkan produksi dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500 ribu per tahun, 400 ribu ton DME per tahun dan 450 ribu ton Polypropylene per tahun.
PTBA pun gencar melakukan hilirisasi dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang. Proyek terbaru adalah PLTU Mulut Tambang Sumatera Selatan 8 dengan kapasitas 2 X 620 megawatt.
PLTU Mulut Tambang Sumsel 8 merupakan bagian dari megaproyek 35.000 MW dengan PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) sebagai Independent Power Procedur (IPP) yang merupakan konsorsium PTBA dan China Huadian Hongkong Company Ltd.
Setali tiga uang, Antam pun gencar melakukan hilirisasi dengan membangun smelter dan pengoperasian pabrik feronikel. Pada hiliriasi segmen operasi nikel, saat ini Antam memiliki dan mengoperasikan 3 unit smelter yang didukung dengan 4 lini produksi dengan kapasitas total mencapai 27.000 hingga 30.000 ton nikel dalam feronikel (TNi) per-tahun di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Dalam hal pengembangan hilirisasi mineral nikel, Antam saat ini tengah menyelesaikan konstruksi Proyek Pembangunan Pabrik Feronikel Haltim (P3FH) di Halmahera Timur, Maluku Utara. P3FH memiliki kapasitas produksi feronikel 13.500 TNi per tahun dan akan mendukung total kapasitas produksi feronikel tahunan Antam menjadi 40.500-43.500 TNi.
Pada segmen operasi emas dan pemurnian, Antam telah mengoperasikan tambang dan pabrik pengolahan emas di Pongkor, Jawa Barat & Cibaliung, Banten. Antam juga memiliki pabrik pengolahan dan pemurnian Logam Mulia yang tersertifikasi London Bullion Market Association (LBMA) satu-satunya di Indonesia yang menghasilkan produk emas dengan standar kemurnian internasional sebesar 999,9. Membedah Kinerja Inalum Pasca Akuisisi FreeportFoto: Infografis/Membedah Kinerja Inalum Pasca Akuisisi Freeport/Arie Pratama Pada hilirisasi segmen operasi bauksit, Antam saat ini memiliki pabrik pengolahan Chemical Grade Alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat yang dioperasikan oleh PT Indonesia Chemical Alumina (PT ICA).
Pabrik CGA Tayan merupakan pabrik pertama pengolahan bauksit menjadi CGA di wilayah Asia Tenggara. Dalam hal pengembangan hilirisasi bauksit, Antam saat ini berfokus pada pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat yang bekerjasama dengan Inalum.
Pabrik SGAR rencananya berkapasitas 1 juta ton SGA per tahun untuk tahap pertama. Melalui pengoperasian SGAR, maka Antam dan Inalum dapat mengolah cadangan bauksit Antam yang ada sehingga Inalum akan memperoleh pasokan bahan baku aluminium dari dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor alumina.
Selanjutnya PT Timah yang sedang sedang mengembangkan smelter dengan teknologi produksi timah kadar rendah (Sn 40%-60%). Proyek ini membutuhkan investasi US$ 56 juta.
Smelter ini nantinya akan memiliki kapasitas produksi sebesar 31 ribu metrik ton per tahun. Ditargetkan smelter ini ditargetkan selesai pada 2022 mendatang. Perusahaan menyebutkan bahwa potensi timah mentah yang bisa diproduksi perusahaan saat ini mencapai 30 ribu-40 ribu ton.
Selain itu, akhir tahun ini perusahaan memprediksi bisa melakukan commisioning dan komersial untuk smelter fumming untuk mengelola terak 1 dan 2. Fumming ini memakan dana investasi sebesar Rp 62 miliar. Kapasitas produksi produksi untuk smelter ini sebesar 31 ribu metrik ton per tahun dengan potensi penambahan biji timah sebesar 6 ribu ton Sn.