Menanti Kebijakan Penyesuaian Target Pembangunan Smelter
Disahkannya UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) oleh DPR telah memberikan harapan baru bagi para pelaku usaha tambang. Pasalnya UU ini dinilai memberikan kepastian hukum bagi kelangsungan usaha dan investasi.
Namun keberadaan UU Minerba tidak serta merta memuluskan kegiatan investasi di sektor hilir, karena adanya kendala pandemi Covid-19, dan Pemerintah belum secara resmi merespons permohonan pelaku usaha pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) yang terkena dampak pandemi Covid-19. Permohonan itu berupa penyesuaian target pembangunan smelter serta insentif berupa relaksasi ekspor. Setidaknya dua perusahaan yang mengajukan permohonan tersebut yakni PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).
Kedua perusahaan yang membangun smelter tembaga itu meminta penyesuaian target smelter direvisi antara 12-18 bulan. Presiden Direktur AMNT Rachmat Makkasau mengatakan surat permohonan sudah dilayangkan sejak April kemarin. Dalam surat tersebut menyatakan pembangunan smelter mengalami keterlambatan akibat pandemi Covid-19. Diproyeksikan target penyelesaian pembangunan mundur hingga 18 bulan. "Kami masih menunggu jawaban pemerintah agar diberikan waktu yang lebih panjang penyelesaiannya," kata Rachmat kepada Investor Daily, akhir pekan lalu. Hal senada disampaikan oleh Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama.
Dia mengungkapkan masih menunggu jawaban dari pemerintah atas surat yang dilayangkan pada April kemarin. Dalam surat itu disebutkan penyesuaian target pembangunan smelter terkoreksi 12 bulan akibat pandemi Covid-19. "Belum ada (jawaban)," ujarnya. Pembangunan smelter masuk dalam proyek strategis nasional. Target penyelesaian pembangunan smelter pun direvisi pemerintah. Hanya saja belum dibeberkan secara rinci smelter mana saja serta penyesuaian target pembangunan smelter tersebut. "Beberapa investasi di pengembangan smelter misalnya, itu ada penundaan akibat Covid-19 sehingga tentu ada yang tertunda 4-5 bulan, ada yang tertunda sampai 1 tahun," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu.
Selain revisi target, ada ketentuan evaluasi pembangunan smelter yang harus direvisi pemerintah. Pasalnya kemajuan pembangunan smelter merupakan syarat utama dalam pemberian izin ekspor konsentrat. Evaluasi pembangunan smelter itu dilakukan setiap enam bulan dengan syarat minimal 90% dari rencana kerja.
Sanksi pencabutan izin ekspor bila hasil evaluasi tidak mencapai batas minimun tersebut. AMNT sebelumnya bernama PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Pada Februari 2017 silam, AMNT beralih status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). AMNT menjadi perusahaan tambang tembaga pertama yang beralih menjadi IUPK. Smelter AMNT mulai dibangun sejak April 2017 silam dengan kapasitas 1,3 juta ton konsentrat yang ditargetkan rampung pada 2022. Smelter AMMT dapat memproses konsentrat tembaga baik dari tambang Batu Hijau, maupun suplai potensial dari tambang Elang yang saat ini dalam tahap eksplorasi, dan sumber pemasok konsentrat lainnya. Sedianya kapasitas smelter mencapai 2-2,6 juta ton konsentrat lantaran bekerjasama dengan Freeport Indonesia.
Namun kerjasama itu kini sudah berakhir sehingga desain smelter yang digunakan kapasitas 1,3 juta ton. Adapun kemajuan pembangunan smelter hingga Januari kemarin mencapai 22,974%. Sementara smelter Freeport memiliki kapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga yang berlokasi di kawasan industri Gresik, Jawa Timur ( java Integrated Industrial and Port Estate/JIIPE). Smelter ini ditargetkan rampung pada 2023 sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah dalam negosiasi peralihan status dari KK menjadi IUPK. Tahap pembangunan smelter sudah mencapai 4,88% hingga akhir Maret kemarin. Rencananya pada Agustus ini groundbreaking pembangunan smelter dimulai.
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Menanti Kebijakan Penyesuaian Target Pembangunan Smelter" Penulis: Rangga Prakoso Read more at: http://brt.st/6C3L