a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Menembus Middle Income Trap, Menantang Krisis, Indonesia Menuju Negara Maju (Part 1)

(Vibiznews – Economy) – Presiden Jokowi pada beberapa waktu lalu menyatakan keyakinannya bahwa negara kita mempunyai peluang yang besar untuk lolos dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.

Sebagaimana diketahui, middle income trap merupakan istilah untuk negara atau ekonomi yang tumbuh dengan cepat lalu mengalami stagnasi pada tingkat pendapatan menengah dan gagal untuk beralih ke tingkat ekonomi berpenghasilan tinggi. Indonesia saat ini kadang disebut sebagai negara yang masuk dalam kategori tersebut.

Di sisi lain, Bank Dunia pada Juli 2020 lalu menaikkan status Indonesia dari negara berpendapatan menengah bawah menjadi atau berpendapatan menengah ke atas (upper middle income) karena Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia pada 2019 telah naik menjadi 4.050 US dollar dibandingkan posisi tahun sebelumnya 3.840 US dollar.

Presiden Jokowi dalam pertemuan Konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) pada Juli 2020 lalu menyatakan bahwa untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi bukan hal yang mudah. Hal tersebut terlihat dari banyaknya negara-negara dunia ketiga yang sudah puluhan tahun bahkan mendekati satu abad hanya berhenti sebagai negara berpenghasilan menengah, atau terjebak pada middle income trap.

“Itulah yang tidak kita inginkan. Pertanyaannya, apakah kita mempunyai peluang untuk keluar dari middle income trap? Saya jawab tegas, kita punya potensi besar. Kita punya peluang besar untuk melewati middle income trap. Kita punya peluang besar untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi,” ujar Jokowi dalam konferensi secara virtual tersebut yang dilansir berbagai media.

Faktor Penyebab

Bank Dunia atau World Bank pernah merilis laporan risetnya pada tahun 2012 yang menunjukkan sulitnya sejumlah negara dalam kelompok middle-income countries untuk berpindah kepada high-income countries. Dalam studi ditemukan bahwa dari 101 negara berpendapatan menengah di tahun 1960, hanya 13 negara atau ekonomi yang berhasil mencapai status level pendapatan tinggi pada tahun 2008. Lima di antaranya berasal dari Asia yaitu Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, Singapore, dan Taiwan, dimana 4 ekonomi terakhir dikenal dengan sebutan sebagai Asian Newly Industrialized Economies, atau Asian NIEs.

Penyebab dari tertahannya tingkat pendapatan dari suatu negara atau ekonomi di level menengah bisa disebabkan oleh sejumlah faktor. Ada berbagai studi telah dilakukan, salah satunya adalah dari ADB (2018), yang memuat artikel bertajuk The Middle Income Trap: Lessons from Latin America.

Dijelaskan, di antaranya, alasan terjadinya middle income trap (atau MIT) di Amerika Latin, dimana sejumlah negaranya telah terjebak dalam level pendapatan menengah selama beberapa dekade, yang kerap menjadi acuan pembelajaran bagi kawasan Asia. Studi menemukan bahwa kelompok MIT terperangkap dalam situasi sulit bersaing di pasar internasional dalam produksi barang-barang berbasis tenaga kerja (labor-intensive goods) karena terus naiknya tingkat upah, di samping kalah bersaing dalam akitivitas yang bernilai tambah tinggi karena tingkat produktivitasnya yang relatif tetap rendah.

Dampak dari kalah bersaing di tingkat global ini di antaranya adalah pertumbuhan ekonomi negara yang terbatas, tingkat upah yang stagnan, dan lebih bertumbuhnya sektor informal. Studi juga menunjukkan bahwa kurangnya pengembangan inovasi domestik adalah kunci dari perangkap pendapatan menengah (MIT) ini.

Penelitan lainnya menyorot beberapa faktor penyebab dari perangkap ini yang di antaranya adalah: kurangnya dukungan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur yang lemah, kekurangmampuan membangun kemandirian dan ketahanan pangan, kurangnya jaminan perlindungan sosial, juga lemahnya birokrasi maupun kepastian hukum.

Strategi Pemerintah Mengatasinya

Dalam Konferensi Forum Rektor Indonesia, Presiden Jokowi mengungkapkan keluar dari middle income trap dibutuhkan prasyarat, di antaranya yaitu infrastruktur yang efisien yang mulai dibangun oleh pemerintah, dan cara kerja cepat yang kompetitif dan berorientasi pada hasil. Untuk itu, perlu diupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul, produktif, inovatif, dan kompetitif.

“Di sinilah posisi strategisnya pendidikan tinggi, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mencetak generasi muda yang produktif dan kompetitif yang selalu berjuang untuk kemanusiaan dan untuk kemajuan Indonesia,” terang Jokowi sebagaimana dikutip sejumlah media.

Presiden di sini menekankan perlunya adanya terobosan dari keterbatasan yang dapat menghambat pertumbuhan yang lebih jauh. Dalam hal ini diperlukan pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas SDM yang produktif dan inovatif.

Sejalan dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan lima prasyarat untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah ini, yaitu: (i) kesiapan infrastruktur, (ii) kualitas dan sumber daya manusia, (iii) kesiapan teknologi, (iv) perencanaan kewilayahan, dan (v) ekonomi dan keuangan APBN yang sehat. Sri Mulyani menyampaikan itu dalam Seminar Nasional Indonesia Emas 2045 yang diprakarsai oleh Iluni FEB UI akhir November 2020 lalu (26/11).

Diprakirakan di tahun 2045 pada ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-100, Indonesia berpotensi mencapai posisi negara dengan PDB terbesar ke-5 di dunia, serta pendapatan per kapita sebesar US dollar 23,199. Populasi Indonesia akan sebanyak 318 juta penduduk yang didominasi oleh kelompok muda yang juga produktif dan sebagian besar (73%) tinggal di perkotaan sebagai kelas menengah.

Menteri Keuangan sebelumnya juga dalam suatu event pernah menjelaskan faktor-faktor pendorong keluar dari perangkap ini, dimana kesiapan infrastruktur dibutuhkan untuk tujuan bisa meningkatkan daya saing dan produktivitas. Sebagai negara kepulauan, pembangunan infrastruktur memegang peranan semakin penting.

Kemudian fokus kepada peningkatan kualitas SDM. Mulai dari meningkatkan kualitas pendidikan, keahlian hingga kesehatan penduduk, dengan mengembangkan program pendidikan dan pelatihan sesuai kebutuhan dan untuk mencetak masyarakat yang sehat dan produktif.

Dalam Seminar Iluni FEB UI tersebut, Sri Mulyani menyebutkan kita bisa belajar dan mengamati dari negara-negara yang telah lulus dari middle income trap, umumnya mereka pernah memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara konsisten. Seperti Singapura yang sempat memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 8% tiap tahunnya selama 18 tahun, dari 1971 sampai 1990. Korea Selatan, selama 16 tahun, dari 1977 sampai 1994, mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 9,1% dan 8,76% untuk per tahunnya. Sedangkan Jepang, pernah memiliki pertumbuhan rata-rata 8,6% per tahun di periode 1966 – 1973, dan kemudian turun ke 3,7% di tahun 1974 – 1985.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat penting untuk membawa negara keluar dari perangkap pendapatan menengah. Indonesia sebenarnya sebelum pandemi telah memiliki momentum pertumbuhan ekonomi yang baik dengan laju pertumbuhan sekitar 5% per tahunnya dari tahun 2015 sampai dengan 2019. Ini yang perlu dikejar lagi untuk pemulihan ekonomi nasional.

Menteri Keuangan dalam Seminar Nasional Indonesia Emas 2045 itu juga menjelaskan Pemerintah telah menggelontorkan program kebijakan yang komprehensif di tengah pandemi ini untuk ‘menyelamatkan jiwa dan perekonomian’, dengan telah diterbitkannya Perpres 72/2020. Biaya penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp695,2 triliun, setara dengan 4,2% PDB, dengan total realisasi per pertengahan November 58,7%. Terdiri atas: program kesehatan sebesar Rp97,26 triliun, perlindungan sosial Rp 234,33 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp65,97 triliun, dukungan UMKM Rp114,81 triliun, pembiayaan korporasi Rp62,22 triliun, dan insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun.

Di samping itu, untuk mengejar cita-cita negara Indonesia maju di tahun 2045, diperlukan “Reformasi Sruktural” dengan program kerja prioritasnya adalah: pengembangan SDM; pembangunan infrastruktur; deregulasi; pemotongan birokrasi; dan transformasi ekonomi. UU Cipta Kerja atau Omnibus Law adalah bentuk dari deregulasi, yang telah mengamandemen 79 UU dan 1244 pasal-pasal. Diharapkan dengan Omnibus Law ini akan terdapat efisiensi birokrasi dan pemangkasan aturan yang tidak perlu, terutama yang terkait dengan perizinan usaha dan investasi.

Pandangan yang senada juga disampaikan oleh Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro dalam suatu acara belum lama ini, dimana Menristek menekankan pentingnya perubahan pola pikir untuk dapat mengubah paradigma dari ekonomi berbasis industrialisasi menjadi ekonomi berbasis inovasi sebagai upaya peningkatan inovasi untuk melewati middle income trap (ristekbrin.go.id, 24/8).

Dengan Bank Dunia menetapkan peringkat Indonesia menjadi upper middle income Menristek melihat ini justru menjadi tantangan agar Indonesia tidak terjebak lama dalam zona upper middle income.

“Untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaannya di tahun 2045, mau tidak mau ‘inovasi’ menjadi kata kunci. Belajar dari negara-negara yang berhasil melewati melewati middle income trap, menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil membawa ekonominya dari tadinya yang berpendapatan rendah naik ke menengah, kemudian yang paling sulit adalah dari menengah ke atas, adalah inovasi,” terang Menteri Bambang.

Tantangan Pandemi

Dari sejumlah pandangan dan temuan di atas, team penulis melihat adanya benang merah strategi untuk menembus middle income trap, termasuk juga keluar dari upper middle income trap, yaitu:

Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang produktif;
Pembangunan infrastruktur;
Pengembangan ekonomi berbasis inovasi.
Terkait SDM, sebagaimana diketahui, untuk periode tahun 2020 – 2024, Indonesia berada di puncak periode “bonus demografi”, yakni dominasi porsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang lebih besar. Bonus demografi ini bisa dimanfaatkan menjadi peluang besar bagi pembangunan ekonomi. Presiden Jokowi pernah menyebutkannya sebagai “menjadi bonus lompatan kemajuan kita”.

Dewasa ini dengan berkembangnya era ekonomi digital dan penerapan industri 4.0, perlu diarahkan agar SDM kita kompeten dan familiar dengan digitalisasi. Pemerintah dikabarkan sedang memetakan pengembangan SDM unggul yang menopang implementasi industri 4.0, yakni angkatan muda kita yang menguasai tentang coding dan programming, mekatronika atau otomasi, data analysis dan statistics, artificial intelligence, serta soft skill flexibility. Ini dapat dilakukan dengan, antara lain, pendidikan vokasi yang link and match dengan industri.

Hari-hari ini dengan adanya pandemi, kita dapat melihat bahwa penggunaan teknologi justru semakin menjadi tuntutan dan kebutuhan di masyarakat, yang dapat semakin mempercepat pergeseran preferensi skill dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan di masyarakat dan dunia industri.

Link and match antara perguruan tinggi dengan industri perlu diperkuat di era new normal ini, yang dapat dilakukan di antaranya dengan penyusunan kurikulum bersama, dosen tamu yang praktisi, program magang, komitmen dunia usaha dalam penyerapan lulusan, sertifikat kompetensi yang dikeluarkan bersama, joint research, beasiswa, dan bantuan perlengkapan laboratorium.

Pembangunan infrastruktur di Indonesia sudah kita ketahui telah gencar dijalankan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama. Di periodenya yang kedua ini dan di tengah masa pandemi dunia ini, infrastruktur dipandang pemerintah tetap penting dan berperan besar dalam pemulihan ekonomi dan sekaligus meningkatkan produktivitas jangka panjang.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kepada DPR pada September lalu bahwa belanja infrastruktur pemerintah di tahun 2021 menjadi salah satu kebijakan yang dilakukan untuk pemulihan ekonomi. Pemerintah mengarahkan pembangunan infrastruktur yang padat karya serta mendukung kawasan industri dan pariwisata agar mampu memberikan multiplier effect yang besar bagi perekonomian nasional.

Lebih lanjut lagi ditegaskan bahwa arah kebijakan tahun 2021 akan didorong melalui penguatan infrastruktur digital serta efisiensi logistik dan konektivitas. Di samping itu pembangunan juga diarahkan dalam bentuk infrastruktur padat karya yang mendukung kawasan industri dan pariwisata.

Dengan demikian, kita dapat melihat jelas bahwa fokus pemerintah di periode ini untuk mengembangkan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur tetap dijalankan, sekalipun ada pandemi virus corona yang tidak terduga sama sekali sebelumnya. Infrastruktur pun sudah ditegaskan sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi nasional.

Selanjutnya tentang “ekonomi berbasis inovasi” (innovation-based economy), ini merupakan pendekatan ilmu ekonomi yang semakin menjadi perhatian para ekonom belakangan ini. Para ekonom inovasi (innovation economists) meyakini bahwa yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) dewasa ini bukanlah akumulasi kapital sebagaimana pendekatan ekonomi neo klasik, tetapi adalah kapasitas inovasi yang dipacu oleh pengembangan pengetahuan dan teknologi.

Menristek/Kepala BRIN Bambang PS Brodjonegoro pun pernah mengutarakan beberapa waktu lalu bahwa Indonesia mempunya peluang yang sangat besar untuk mewujudkan ekonomi berbasis inovasi. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunya segudang potensi sumber daya alam yang dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan teknologi dan inovasi.

Disebutkannya Indonesia merupakan negara nomor satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dan nomor dua penghasil karet dan timah terbesar di dunia. Belum lagi potensi perairan yang dinilai dapat dimanfaatkan untuk bioteknologi dan energi terbarukan (dw.com, 19/8).

Untuk mengembangkan ekonomi berbasis inovasi, Menristek/Kepala BRIN menekankan perlunya “Sinergi Triple Helix” yang diharapkan mampu menjadi jawaban atas tantangan adanya Revolusi Industri 4.0 dan dalam penerapan ekonomi yang berbasis inovasi.

“Ketika produk yang dihasilkan tidak diminati atau dibutuhkan industri maka hanya akan menjadi hasil penelitian yang tidak dapat dinikmati masyarakat. Bisa juga mampu menghasilkan produk tapi tidak punya ijin untuk dipasarkan. Sebab itu Triple Helix dimana di dalamnya ada perguruan tinggi, industri sebagai produksi dan pemerintah sebagai fasilitator menjadi sangat penting untuk kita dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan menerapkan ekonomi yang berbasis inovasi,” jelas Bambang (ristekbrin, 13/6).

Dengan demikian, kita melihat untuk efektivitasnya pengembangan ekonomi inovasi diperlukan kerja sama yang baik, antara perguruan tinggi, idustri atau dunia usaha, dan pemerintah. Sehingga produk-produk inovatif yang dihasilkan bermanfaat bagi masyarakat, ada nilai komersial dan bisnisnya.

Di tengah pandemi, ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Survey McKinsey belum lama ini, bertajuk “Innovation in a crisis: Why it is more critical than ever” yang dirilis Juni 2020, menunjukkan terkait komitmen pada inovasi para eksekutif puncak perusahaan banyak yang focus kepada keberlangsungan bisnis dulu, khususnya bisnis utama mereka. Para eksekutif memilih untuk memangkas biaya, mendorong produktivitas, dan menerapkan langkah pengamanan ketimbang mendorong pertumbuhan sisi inovasi. Investasi untuk inovasi dikorbankan.

Namun demikian, para pimpinan perusahaan dalam survey McKinsey meyakini bahwa mereka pasti akan kembali kepada langkah inisiatif inovasi saat keadaan dunia stabil kembali, bisnis inti mereka aman, dan jalan ke depan tampak lebih jelas.

Hal tersebut dapat dipahami berbicara tentang manajemen perusahaan di masa krisis. Itu sebabnya peranan pemerintah sebagai fasilitator pada situasi pandemi ini perlu lebih besar. Hal yang nampaknya tidak perlu diragukan lagi untuk komitmen pemerintah melihat sejumlah inisiasi di atas, baik dari sisi alokasi anggaran maupun dari sisi strategi penguatan inovasi di negeri kita.

Selanjutnya, rekomendasi team penulis untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam menembus middle income trap…