Warta Ekonomi.co.id, Jakarta - PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Belum sempat berdiri tegak, perusahaan tambang pelat merah ini sudah dibebani dengan kewajiban membangun smelter sebagai fasilitas pemurnian. Tujuan pemerintah sebetulnya baik, untuk meningkatkan nilai jual hasil pertambangan. Namun, adanya larangan ekspor barang mentah bagi perusahaan tambang yang belum memiliki smelter, membuat perusahaan tambang mengalami penurunan pendapatan.
Sebenarnya, Antam sudah mengalami penurunan laba sejak 5 tahun terakhir, dari US$895,86 di 2012, turun menjadi US$421,03 di tahun 2013. Tahun berikutnya, perusahaan merugi sebesar US$137,06. Kerugian meningkat hingga US$701,44 pada 2015. Berbalik arah pada tahun 2016. Tahun tersebut, Antam bangkit dengan mencatatkan laba sebesar US$8,16.
Larangan ekspor mineral mentah dituding menjadi penyebab penurunan laba Antam. Di sisi lain, harga komoditas juga rendah. Penyebab lainnya, penjualan emas yang menjadi andalan ternyata mengalami penurunan. Laman resmi perusahaan melaporkan volume penjualan emas Antam pada tahun 2016 sebesar 10.227 kg, menurun 27,87% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 14.179 kg.
Beruntungnya, pendapatan Antam ditopang dari peningkatan penjualan komoditas lain. Di tahun yang sama, 2016, volume penjualan feronikel Antam tercatat meningkat 12,04%, perak naik 38,82%, dan bauksit meningkat 59,11%. Bahkan, ore nikel melonjak 1.471% menjadi 734,88 ribu wet metric ton (wmt), dari sebelumnya sebesar 46.751 wmt.
Lima bulan mengarungi tahun baru 2017, pemilik modal mengganti direktur utama Antam. Arie Prabowo Aritedjo dipercaya untuk membangkitkan perusahaan yang terkenal dengan produk emasnya ini. Bagaimana strategi Antam bangkit di bawah komando Arie Prabowo Aritedjo? Berikut petikan wawancara reporter Warta Ekonomi, Arif Hatta dan Agus Aryanto, bersama Sufri Yuliardi (fotografer) pada akhir Agustus dan awal September 2017.
Apa yang akan Anda lakukan untuk membangkitkan kinerja Antam?
Kalau Anda lihat, laporan keuangan Antam boleh dikatakan berat. Kalau semester I (2017) yang sudah dilaporkan kemarin, secara konsolidasi, liability kita Rp12,3 triliun. Sementara kita punya EBITDA Rp396 miliar. Jadi, rasionya itu tinggi sekali. Kalau tahun ini bisa tercapai sekitar Rp1,5 triliun, rasionya masih 1 banding 8. Padahal, pada umumnya, rasio itu harus maksimal 4, 1 banding 4. Tapi, kalau lihat posisi sampai dengan 2016, kita punya liability itu Rp11,5 triliun, sementara EBITDA kita hanya Rp986 miliar, jadi rasionya 1 banding 12. Boleh dikatakan kita sudah over laverage.
Ini rada berat maka harus dilakukan restrukturisasi. Biasanya, kita menurunkan rasio dari 12 itu paling maksimal jadi 4. Kiat-kiat ke depan bagaimana, tentu, satu, kita menaikkan EBITDA dari segi efisiensi kerja, diharapkan akan menaikkan EBITDA. Tapi, seberapa jauh EBITDA itu bisa mengurangi rasionya, saya rasa tidak terlampaui banyak. Tapi, saya rasa yang bisa dilakukan ke depan adalah melakukan divestment. Artinya, kalau kita punya aset sementara utang kita banyak, untuk mengurangi utang bagaimana, asetnya kita jual, kan.
Apa rencana Anda?
Ada beberapa yang dalam wacana akan kita spin off. Salah satunya misalnya saja kita di Pomalaa ada investasi hampir Rp3 triliun untuk power plant. Ini core kita, tapi kaitan dengan sinergi BUMN, di Pomalaa ini listrik kita yang punya juga, nilainya hampir Rp3 triliun. Sekarang kami sedang diskusi dengan Bukit, seolah-olah ini nanti dibeli oleh Bukit Asam sehingga Bukit Asam punya perjanjian jual beli listrik dengan smelter kita. Dengan ini, tentunya kita akan terima cash. Untuk mengurangi tadi,kita punya liability untuk menjadikan rasio menjadi lebih baik.
Melihat keuangan kita sendiri, kalau terus mengerjakan proyek tanpa men-divest, utang kita naik lagi. Kita ada aset yang namanya Pulau GEG di Raja Ampat. Di sana, ada tambang Nikel dan mempunyai sumber daya sekitar 180 juta dengan kadar 1,8%. Saat ini sedang ada konstruksi dan tahun ini sudah mulai keluar ore-nya untuk dijual di dalam negeri. Dengan value cadangan yang demikian besar, rencananya kita akan mencari strategic partner. Strategic partner itu nantinya boleh membeli saham sampai dengan 49% dari pulau GEG ini. Tapi mayoritas tetap ANTAM di-upstream-nya.
Apakah Anda juga akan menata ulang anak-anak perusahaan, bagaimana ceritanya?
Divestasi itu memang untuk sesuatu yang bisa membantu kinerja Antam ke depannya. Cuma, memang permasalahan utama di Antam ini ada di anak-anak perusahaan. Artinya, anak-anak perusahaan ini kinerjanya kurang baik. Sebagai contoh ICA (Indonesia Chemical Alumina), chemical grade alumina di Tayan. Proyek itu selama dua tahun terakhir sejak berdirinya selalu rugi. Ini yang harus kita tata ulang. Dan saat ini kita sedang mengevaluasi terhadap proyek itu ke depannya.
Bagaimana hasil mapping, ada berapa banyak yang sehat dan yang tidak sehat?
Melihat dari skala prioritas, pertama yang menjadi perhatian di Tayan, yang namanya Indonesian Chemical Alumina, itu yang paling parah. Di situ, kerugian tercatat tahun lalu saja ada 30 sekian juta dolar. Dan yang parahnya bahwa EBITDA negatif di situ, yaitu terjadi negative cash operation. Artinya, justru kejadiannya dalam dua tahun pertama, ANTAM harus menyuntikkan modal agar pabrik itu jalan. Saat ini, sedang dalam tahap negosiasi dengan Jepang sebagai partner kita. Satu bulan yang lalu, sudah mengumumkan akan keluar dari proyek ini. Kita juga lakukan pembahasan dalam rangka menjual saham mereka, ataupun sebagian saham kita kepada pihak lain. Sekarang juga sedang bersama-sama untuk melakukan penjualan atau cari strategic partner untuk proyek ini.
Memberdayakan anak perusahaan ini menjadi prioritas ke berapa?
Ya, pasti prioritas pertama. Makanya tadi, kasus chemical grade alumina itu menjadi perhatian pertama waktu saya masuk. Supaya, ke depannya, tidak lagi menghasilkan negative cash flow. Sementara ini, proyek itu kita hentikan dulu sementara. Sekarang, dalam proses maintenance.
Untuk memberdayakan anak usaha itu, roadmap-nya bagaimana kira-kira?
Kalau yang chemical gread alumina, pertama, kita menyesuaikan dulu permasalahan bisnis struktur dengan partner kita yang Jepang ini. Kalau sudah beres, kita akan mulai menjual lagi ke luar untuk mancari strategic partner. Menurut saya, itu aksi positif selama kita diberi kesempatan untuk bisa mencari market sendiri untuk menjual chemical grade alumina.
Kalau NHM tidak banyak yang bisa dilakukan karena tambangnya tinggal 2 sampai 3 tahun lagi sudah habis cadangannya. Tinggal kita lihat seberapa jauh harga emas ini akan meningkat di global. Kalau meningkat, tentu kita akan mendapat dividen tuntutan lebih banyak. Kalau harga emas turun, akhirnya apa yang sudah kita invest di awal itu tidak akan kembali. Artinya, mencatat kerugian. Makanya tadi saya bilang, tahun ini kita kena amortisasi yang hampir Rp400 miliar tadi.
Apa rencana jangka pendek yang Anda lakukan?
Yang kita lakukan salah satunya adalah trading emas. Jadi, sampai bulan lalu, kita masih katakan melayani pembuatan hallmark untuk yang dari eceran. Cuma, sekarang kita setop itu karena kita sendiri yang melakukan. Kami melakukan trading dengan mengembangkan butik-butik kami. Ini sudah terlihat dalam 2 bulan terakhir, penjualan sudah cukup meningkat. Penjualan dua bulan terakhir ini sudah sampai Juni, untuk penjualan domestik hanya 2 ton, tapi sampai dengan bulan Agustus sudah 3,1 ton. Penambahan lebih dari 50% dalam dua bulan ini dibanding 6 bulan pertama.
Pundi-pundi uang Antam sebetulnya dimana?
Antam pundi-pundinya emas, boleh dikatakan 70% dari emas pada saat ini. Kemudian dari feronikel, dan sekarang ditambah ore ekspor. Kalau dari anak usaha, saat ini tidak ada yang memberikan kontribusi positif, kecuali NHM. Namun, dividen yang kita dapat itu masih jauh dari apa yang telah kita invest sebelumnya. Performa dari perusahaan memang belum sesuai dengan harapan. Karena mungkin, ya, volatilitas dari harga.
Kalau rata-rata umur pertambangan Antam?
Kalau emas itu, Pongkor tinggal sampai 2021, Cibaliung 5-6 tahun lagi, NHM mungkin tinggal 2-3 tahun lagi. Oleh karena itu, saat ini, kita sedang melakukan alinasi dalam discovery cadangan-cadangan emas baru di beberapa wilayah di Indonesia. Daerah yang sudah teridentifikasi di Jawa Timur, Sumbawa (NTB), Jawa Barat, itu wilayah baru yang belum ada izinnya. Masih proses tender, tapi sudah ada identifikasi sumbernya di sana.
Bicara hilirisasi, langkah-langkah apa yang akan Anda tempuh?
Kalau ditanya apa yang akan dilakukan, tentu ada program jangka pendek dan jangka panjang. Untuk masuk ke hilirisasi. Kita memerlukan waktu dan proses.
Katakanlah dari pembangunannya, kalau itu sudah mulai atau bahkan belum, masih ada proses feasibilisasi, pencarian partner, dan sebagainya. Itu semua tentu memakan waktu yang tidak cepat.
Saat ini, hilirisasi yang sudah berjalan adalah Proyek Pembangunan Pabrik Feronikel Haltim (P3FH) berkapasitas 13.500 ton nikel dalam feronikel (TNi) yang didanai dari Penyertaan Modal Negara (PMN), itu pun baru melaksanakan pemancangan tiang perdana pada bulan April 2017 dan mungkin baru akan operating di pertengahan tahun 2019, itu paling cepat. Kita juga mendapat dana dari PMN untuk Halmahera Timur, yaitu pembuatan feronikel dengan kapasitas 13.500 ton per tahun. itu saja mungkin baru akan operating di pertengahan tahun 2019 paling cepat, yaitu sekitar 2 tahun mendatang.
Artinya, kita harus melakukan sesuatu untuk bisa meningkatkan kinerja. In the short term, tentunya kita harus lihat yang dipunyai Antam? Pertama, produksi emas di Pongkor dan Cibaliung, itu pun terbatas kondisinya. Kondisinya saat ini, dalam setahun, mungkin hanya produksi dua ton dan cadangannya memang sudah tidak banyak lagi. Kedua, kita lihat feronikel. Kita sudah punya feronikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara yang sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 70- an awal. Alhamdulillah tahun lalu Antam telah menyelesaikan Proyek Perluasan Pabrik Feronikel Pomalaa (P3FP), sehingga meningkatkan kapasitas produksi terpasang pabrik feronikel Antam dari 18.000—20.000 TNi per tahun menjadi 27.000—30.000 TNi per tahun. Seiring dengan mulai beroperasinya beberapa fasilitas operasi proyek P3FP di tahun 2016, Antam mencatat capaian produksi feronikel tertinggi dalam sejarah perusahaan, yaitu sebesar 20.293 Tni. Diharapkan tahun ini kita bisa tingkatkan dari angka 22 ribu TNi. Nah, itulah yang kita punyai.
Selanjutnya, kita juga punya tambang-tambang nikel. Dengan dikeluarkannya izin ekspor bijih nikel kadar rendah sebesar 2,7 juta wet metric ton (wmt) dan 850 ribu wmt untuk washed bauksit, kita akan mengoptimalkan izin ekspor yang telah didapatkan untuk meningkatkan pendapatan Antam di tahun 2017. Tentunya, dengan kondisi volatilitas harga komoditas tersebut, Antam akan semakin fokus untuk menjaga tingkat biaya produksi sehingga tetap rendah, antara lain dengan melakukan strategi pengelolaan biaya energi, bahan baku, serta biaya jasa pertambangan. Itu menjadi target awal saat ini sehingga diharapkan seiring dengan penurunan biaya tunai produksi akan meningkatkan margin keuntungan perusahaan.
Apakah kewajiban membangun smelter bisa dikatakan menjadi penyebab penurunan pendapatan Antam?
Waktu larangan itu dikeluarkan di tahun 2014 memang langsung hit pada pendapatan Antam, yaitu langsung rugi. Memang pada waktu itu, kita belum siap. Tapi, ke depan, memang menjadi kewajiban kita untuk mengimplementasikan hilirisasi sesuai amanat undang-undang. Rencananya, smelter ini akan sangat mendongkrak pendapatan Antam.
Berapa investasi untuk membangun smelter, kira-kira berapa tahun bisa balik modal?
Kalau biaya yang penyertaan modal negara (PMN) Rp3,5 triliun, itu yang di Halmahera Timur untuk kapasitas 13.500 ton per tahun. Ini yang baru jalan, kecuali yang sudah dibangun. Untuk yang lain kita sedang mencari proyek-proyek baru tapi dengan modal dari strategic partner dengan modal inti adalah aset kita saja yang nanti divest.
Kembali lagi ini adalah komoditas, katakanlah smelter itu kita bikin dengan asumsi harga 5 dolar, tapi nanti harga komoditas di 3 dolar, ya, pasti rugi. Sebaliknya, kalau harga komoditas langsung di harga 7—8 dolar, pasti sudah langsung balik modal. Jadi, masalahnya untuk menentukan berapa lama balik modal kembali lagi ke harga. Kalau asumsinya dengan harga yang sesuai dengan rencana kita pada harga 5—6 dolar, ini akan menukik dan payback dari proyek itu dalam 5—6 tahun sudah kembali. Tapi, kalau seperti di awal tahun ini, harga turun sampai di bawah 4 dolar, ya berat.
Melalui langkah-langkah tersebut, bagaimana dengan target di tahun ini?
Target tahun ini diharapkan at the end of the year kita bisa recover dari challenge yang kita hadapi di semester pertama ini. Harga di semester pertama ini mengalami drop di bawah US$ 4 per pon, khususnya di bulan Mei—Juni 2017. Tapi, sekarang kalau kita lihat sudah mulai naik kembali, harga nikel sudah di level US$5,2 per pon. Diharapkan harga ini akan bertahan sampai dengan sisa tahun 2017 dan kita akan recover sampai at the end of the year sehingga kinerja kita akhir tahun ini bisa lebih baik dari tahun lalu.
Adakah pesan-pesan khusus dari Menteri BUMN saat Anda ditunjuk jadi presiden direktur baru Antam?
Saya dipanggil sehari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Ketika ditanya siap, saya jawab siap-siap saja. Tidak ada pesan khusus, hanya istilahnya bagaimana ke depannya bisa membawa Antam menjadi lebih baik karena jika dilihat beberapa tahun terakhir, Antam menunjukkan performa keuangan yang kurang baik. Sampai saat ini, mungkin juga masih kurang bagus. Kita lihat kerugian di tahun-tahun lalu cukup besar. Kedua, Antam diharapkan dapat segera merealisasikan proyek-proyek hilirisasi mineral untuk mendukung program pemerintah dan amanat undang-undang.
Kenapa Anda mau ditunjuk oleh perusahaan?
Menurut saya, ini amanah, dan menurut saya ini justru challenge. Artinya, orang melihat, kok, saya lebih menikmati di sini ketimbang di Bukit Asam. Jadi, di sini merupakan challenge yang saya yakin dengan di-support oleh teman-teman di Antam akan lebih baik dalam 1—2 tahun ke depan.