Menguak orang kuat domestik di balik bisnis Freeport oleh Ferdi Hasiman
ndonesia, sejak lama telah diidentifikasi oleh para peneliti ekonomi sebagai negara dengan sistem kapitalisme yang semu dan penuh berburuan rente. Mulai dari industri-industri komponen, industri mobil, minyak bumi, hingga sektor pertambangan. Menurut Kunio Yoshihara, praktek perburuan rente ini lahir dari persekutuan pengusaha dan penguasa. Hal ini menghambat inovasi dan pengembangan teknologi, serta ketergantungan Indonesia terhadap modal asing.
Sementara itu, pengusaha domestik lebih memilih untuk menjalankan bisnis perantara atau hanya berperan sebagai supporting system tanpa melakukan inovasi dan pengembangan teknologi. Implikasinya adalah bisnis utama yang mengandalkan bahan baku dari alam Indonesia dikendalikan oleh modal dan teknologi asing untuk menjadi sebuah produk jadi.
Merupakan rahasia umum bahwa para elit saling sikut, saling tikung, hingga saling catut, mencari celah berebut masuk ke lingkaran bisnis PT Freeport Indonesia. Contoh paling baru yang mengguncang publik adalah kasus "Papa Minta Saham" yang melibatkan Ketua DPR RI Setya Novanto 2015 lalu. Elit politik dan pengusaha turut ambil bagian melancarkan lobi untuk dapat bagian saham Freeport atau mitra bisnisnya.
Sejak puluhan tahun silam, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) memang bagai biang gula. Setiap proses bisnisnya menjanjikan manisnya keuntungan yang besar.
Buku yang ditulis oleh Ferdinandus Hashiman berjudul “Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara” mengulas Freeport dari berbagai macam sudut pandang. Sisi-sisi yang dilihat di antaranya dari sudut pandang sejarah, analisis finansial (kinerja), hubungan Freeport-Negara, Freeport-Papua dan rantai bisnis pengusasa-pengusaha yang selama ini dekat dengan akses kekuasaan. ADVERTISEMENT
Memiliki tebal 367 halaman dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, buku ini merupakan karya kedua Ferdi. Sebelumnya, pada 2013 ia menulis buku “Monster Tambang” yang mengupas problem kehadiran tambang di NTT, khususnya di wilayah Manggarai Raya.
Ferdi menguraikan dalam bukunya bahwa sejak Kontrak Karya yang ditandatangani pada 1967, tambang raksasa yang menambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua itu dengan bebas melakukan ekspansi bisnis. Kontrak Karya menjadi alat hukum untuk mendulang banyak uang dari tembaga dan emas di Earstbrg, Grasberg dan tambang bawah tanah.
Sejak mengeksplorasi emas dan tembaga di Earstberg (1971-1988), Grasberg (1991-sekarang) dan tambang underground, tambang Grasberg adalah tambang yang paling menguntungkan di dunia. Tambang Grasberg di Papua sangat kaya. Hal ini membuat, mulai era Orde Baru hingga reformasi, para pengusaha domestik berebutan menjadi partner bisnis Freeport. Mereka ini, yang disebutnya sebagai orang-orang kuat, terlibat dalam bisnis jasa memasok Bahan Bakar Minyak (BBM), bahan peledak, jasa pembangunan pelabuhan sampai catering. Ferdi melabeli mereka sebagai orang kuat, karena mereka memiliki akses dengan kekuasan dan partai politik.
Pemerintahan Joko Widodo saat ini mencoba melakukan renegosiasi kontrak dengan Freeport mulai dari menaikan penerimaan negara, pengurangan lahan, perpanjangan kontrak, pembangunan smelter dan divestasi saham selalu sulit. Semua upaya ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan teknologi dan modal asing, sekaligus juga mengurangi praktek perburuan rente para elit domestik. Hanya pemerintahan kuat dan berdaulat yang mampu melakukan renegosiasi kontrak dengan Freeport.
Kontrak Karya menjadi alat hukum bagi Freeport Indonesia untuk mendulang banyak uang dari tembaga dan emas di Earstbrg, Grasberg dan tambang underground, Papua. Melalui Kontrak Karya, Freeport Indonesia dengan bebas melakukan ekspansi bisnis dan mengeksplorasi tembaga dan emas di Papua. Pemerintah Indonesia yang mencoba melakukan renegosiasi kontrak berkali-kali menemukan jalan buntu karna Freeport Indonesia selalu bersembunyi di balik Kontrak Karya.
Kontrak karya menjadi babak baru bagi Freeport dan babak baru bagi pemerintah Indonesia dan Papua. Papua mendapat ruang untuk mendapat 10 persen saham di Freeport dan pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Alumina (INALUM/BUMN) mengendalikan 41 persen saham Freeport. Dengan komposisi itu, pemerintah Indonesia kemudian mengendalikan 51 persen saham Freeport Indonesia. Selain alotnya negosiasi dengan Freeport yang tak mau mengubah KK menjadi IUPK, Jokowi harus berhadapan defisit APBN akibat impor migas (bensin) terlalu besar (49% per Agustus, 2018)
Proses politik di DPR juga tak membantu dalam proses divestasi. Padahal, di sana-sini DPR berteriak agar pemerintah segera menuntaskan divestasi Freeport. DPR tak mendukung pengalihan saham perusahaan asing ke perusahaan-perusahaan BUMN dengan alasan injeksi modal ke BUMN menimbulkan defisit APBN. Padahal, tugas menutup defisit APBN adalah pekerjaan bersama DPR dan pemerintah. DPR tidak memiliki politik konstitusional jelas dalam divestasi. Presiden kemudian bersama menteri-menterinya mencari cara lain mendapat saham Freeport. Pemerintah melakukan divestasi dengan mekanisme korporasi.
Korporasi asing-domestik justru yang menjadi penopang penerimaan negara dari sektor tambang. Mereka juga ikut menentukan maju-mundurnya proyek hilirisasi mineral. Pemerintah kemudian menjadi tak konsisten menerapkan pelarangan ekspor mineral mentah. Freeport misalnya, masih saja diberikan izin ekspor mineral. Halhal tersebut masih terjadi karena BUMN tak diberi akses ke konsensi potensial oleh negara. Negara tidak menjalankan usaha, tetapi operasionalisasi amanat konstitusi dijalankan perusahaan BUMN.