a a a a a
logo
Short Landscape Advertisement Short ~blog/2022/2/1/pak prihadi
Bersama Kita Membangun Kemajuan Industri Smelter Nasional
News

Menjaga Bara Industri Batu Bara di Tengah Pusaran Infeksi Covid-19

Tahun 2020 menjadi tahun yang suram bagi industri batu bara. Merebaknya pandemi Covid-19 membuat permintaan batu bara di pasar global makin melemah dan menekan harga batu bara hingga ke level terendahnya dalam 4 tahun terakhir.

Harga batu bara acuan (HBA) Agustus 2020 mengalami penurunan sebesar 3,49 persen menjadi US$50,34 per ton dibandingkan dengan HBA Juli 2020 sebesar US$52,16 per ton. Penurunan ini merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang mengakibatkan turunnya permintaan di beberapa negara pengimpor batu bara, sedangkan stok batu bara di pasar global makin meningkat.

HBA sempat menguat sebesar 0,28 persen pada angka US$67,08 per ton pada Maret dibandingkan Februari senilai US$66,89 per ton. Namun, sejak Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada pertengahan Maret lalu, HBA mengalami pelemahan ke angka US$65,77 per ton pada April dan US$61,11 per ton pada bulan berikutnya. Tren penurunan berlanjut, HBA melemah menjadi US$52,98 per ton pada Juni dan US$52,16 per ton pada Juli.

Tekanan pada harga diperkirakan berlanjut bila suplai masih menguat di tengah lemahnya permintaan batu bara.

Produksi batu bara dalam negeri masih relatif kuat dan diperkirakan bisa mencapai target tahun ini yang dipatok 550 juta ton.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, realisasi produksi batu bara hingga 21 Agustus 2020 mencapai 345,2 juta ton atau 62,76 persen dari rencana produksi tahun ini.

Bahkan, sejumlah produsen batu bara disebut-sebut berencana meningkatkan produksi mereka.

HBA batu bara

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan bahwa sejumlah produsen yang mengajukan peningkatan produksi dalam revisi rencana kerja dan annggaran biaya (RKAB) tahun ini.

Menurutnya, kenaikan produksi akan dipertimbangkan bila produsen mampu menunjukkan kepastian pembeli dari rencana produksinya.

Sementara itu, IHS Markit memperkirakan permintaan impor batu bara termal di pasar global menurun sekitar 91 juta ton tahun ini. Penurunan terutama didorong menurunnya permintaan dari China dan India yang merupakan pengimpor batu bara terbesar di dunia.

Diyana Putri Alan, Energy Markets Editor IHS Markit, mengatakan bahwa pemangkasan produksi dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali penawaran dan permintaan. Jika ingin harga terdorong, disiplin suplai batu bara sangat penting dilakukan.

Pasar batu bara diyakini akan bangkit kembali dalam jangka panjang karena bahan galian itu masih menjadi tulang punggung sumber energi di Asia dalam beberapa waktu ke depan. Namun, pandemi Covid-19 membuat peta permintaan batu bara makin sulit diprediksi, bahkan meskipun bila nanti vaksin Covid-19 ditemukan.

Potensi puncak permintaan impor batu bara dari China pada kuartal keempat tahun ini juga tak bisa terlalu diandalkan seiring dengan ketidakpastian kebijakan kontrol impor China. Impor batu bara China pada Juli 2020 mencapai 26,10 juta ton atau turun 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Diyana memperkirakan kondisi ini tidak banyak berubah pada semester kedua.

Oleh karena itu, produsen batu bara global, terutama Indonesia, disarankan untuk memikirkan kembali tendensinya untuk meningkatkan produksi pada periode musim dingin mendatang.



KENDALIKAN PRODUKSI

Sementara itu, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) juga telah mengimbau produsen bata bara nasional untuk mengendalikan produksi melalui pemangkasan produksi sekitar 15 persen—20 persen dari rencana awal.

produksi batu bara

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menilai pengendalian produksi batu bara nasional diperlukan agar harga batu bara bisa kembali menguat.

Namun, kebijakan pemangkasan produksi tersebut berada di tangan tiap-tiap perusahaan.

Hendra mengatakan bahwa perusahaan memiliki strategi yang berbeda dalam mengatasi kondisi pelemahan harga ini, mulai dari menurunkan stripping ratio untuk menghemat biaya produksi hingga mengurangi produksi. Bahkan, beberapa perusahaan berniat menaikkan produksi untuk mempertahankan pangsa pasar mereka.

Bila kondisi tren pelemahan harga terus berlanjut, banyak produsen batu bara diperkirakan kesulitan untuk bertahan hidup.

CEO PT Trafigura Indonesia Bob Kamandanu menuturkan bahwa saat ini produsen menjual batu bara dengan harga di bawah ongkos produksi.

Bila tidak ada intervensi dan dukungan dari pemerintah, sejumlah produsen batu bara diperkirakan tidak bisa bertahan. Menurutnya, salah satu dukungan yang bisa diberikan adalah melalui relaksasi kebijakan domestic market obligation (DMO).

APBI juga telah mengajukan permintaan relaksasi DMO kepada Kementerian ESDM, terutama mengenai penerapan sanksi denda bila DMO tak terpenuhi agar tidak diterapkan sementara selama pandemi.

Asosiasi itu melihat para produsen kesulitan melaksanakan kewajiban DMO karena mengecilnya pasar domestik akibat permintaan ekspor menurun signifikan.

Di sisi lain, permintaan batu bara dalam negeri juga diproyeksi berkurang atau jauh di bawah target pemerintah sebesar 155 juta ton tahun ini. Pemerintah dinilai tidak perlu khawatir pasokan batu bara dalam negeri tak akan terpenuhi.

Di tengah jatuhnya permintaan batu bara di pasar global, masih terdapat secercah asa bagi produsen batu bara dalam negeri. Meski kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik menurun, ada peningkatan permintaan batu bara untuk kebutuhan industri smelter yang cukup menggembirakan bagi produsen batu bara.

Jika semula permintaan batu bara untuk smelter diperkirakan 16 juta ton, pasar memperkirakan angkanya meningkat menjadi 24 juta ton. Tambahan yang cukup signifikan untuk menjaga bara industri batu bara nasional.

Sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20200825/44/1282633/menjaga-bara-industri-batu-bara-di-tengah-pusaran-infeksi-covid-19 Tahun 2020 menjadi tahun yang suram bagi industri batu bara....